Kopi Pagi: Reformasi Pilkada

Senin 20 Jan 2025, 07:58 WIB
Kopi Pagi: Reformasi Pilkada (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi: Reformasi Pilkada (Sumber: Poskota)

"Pilkada harus mampu memberi perlindungan kepada rakyat, menjamin rakyat bebas menentukan pilihan. Negara, pemerintah atau penyelenggara wajib menjamin masyarakat terbebas dari segala bentuk intimidasi, tekanan, kekerasan, dan black campaign"

-Harmoko-

Dugaan politik uang (money politic), boleh jadi, yang terbanyak disengketakan dalam perkara perselisihan hasil pilkada serentak yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Selain, tak sedikit yang mendalilkan mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) secara terstruktur, sistematis dan masif sebagai bentuk pelanggaran.

Dalam persidangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkada, sejak awal tahun ini, sejumlah pemohon memperkarakan adanya dugaan politik uang yang dilakukan pasangan calon tertentu untuk memenangkan pilkada.

Atas dugaan ini, pemohon yang mewakili paslon lain, meminta agar dilakukan pilkada ulang alias pemungutan suara ulang di daerah tersebut, baik sebagian wilayah maupun keseluruhan.

Soal politik uang memang bukan hal baru diperkarakan.Sejarah mencatat, dugaan politik uang merupakan masalah yang acap dipersoalkan dari pilkada ke pilkada.

Sejumlah survei pun menyebutkan politik uang dalam pilkada cenderung merebak dan kompromis. Sebagian masyarakat mempersepsikan bahwa politik uang sebagai hal normal.

Maknanya toleransi terhadap politik uang cenderung meningkat dari pilkada ke pilkada. Sementara kita tahu, politik uang menjadi masalah besar dalam mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.

Tidak itu saja, kepala daerah yang menang pilkada karena politik uang tak ubahnya menanam embrio masalah di awal kepemimpinannya, jika uang yang ditebar dalam pilkada berasal dari donatur politik dengan komitmen dan kompensasi tertentu.

Jika sudah demikian, siapa yang dirugikan? Jawabnya adalah masyarakat. Siapa yang salah? Jawabnya sulit untuk menyebut satu per satu. Apakah yang salah calonnya, warganya atau pemilik modal.

Politik uang terjadi karena situasinya memungkinkan. Sistem pilkada yang kita anut tetap seperti pilkada yang berlaku sekarang, pilkada yang masih diwarnai dengan politik uang.

Pertanyaannya kemudian haruskah sistem pilkada yang dibenahi?Jawabnya itu menjadi salah satu solusi. Mengubah kondisi yang sudah mengakar dengan terindikasinya toleransi politik uang yang kian meningkat, perlu sekiranya mengubah sistemnya secara keseluruhan. Bukan membenahi secara parsial.

Hal baru pada pilkada serentak sejatinya sudah dilakukan, di antaranya dengan menurunkan ambang batas (threshold) pengajuan paslon kepala daerah tak lagi sepert pengajuan paslon pada pilpres.

Di mana, partai politik atau gabungan partai politik minimal memiliki memiliki 20 persen kursi di DPRD atau minimal mengantongi suara sah sebenar 25 persen dari suara sah di daerahnya.

Ketentuan baru mengacu kepada persyaratan paslon independen yang berdasarkan kepada persentase dari total penduduk. Ditetapkan antara 6,5 persen hingga 10 persen.

Namun, penurunan angka ambang batas ini hanya mengatrol jumlah pasangan calon yang lebih variatif, alternatif dan kompetitif. Belum berdampak menghilangkan praktik politik uang.

Jika pembenahan secara total yang dikehendaki, berarti perlu adanya reformasi pada pilkada mendatang. Artinya tidak sebatas merevisi undang – undang tentang pilkada, aturan main soal persyaratan pengajuan pasangan cakada (calon kepala daerah),  juga perlu memasukkan aturan yang jelas dan tegas guna mencegah terjadinya politik uang. Tak hanya kepada paslon, juga parpol pendukungnya.

Hal lain, jika ambang batas pengusulan paslon presiden dan wapres, ditiadakan, perlukah merenung untuk menghapus pula ambang batas pencalonan kepala daerah, dengan syarat kualifikasi parpol kian ketat dan meningkat. Selain, membuka opsi kian banyak hadirnya calon independen.

Tak kalah pentingnya pilkada harus mampu memberi perlindungan kepada rakyat, memberi jaminan agar rakyat bebas menentukan pilihan. Negara, pemerintah atau penyelenggara pemilu wajib menjamin masyarakat terbebas dari segala bentuk intimidasi, tekanan, kekerasan, dan black campaign, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Di era sekarang rasanya perlu ditambahkan satu lagi asas pilkada , di luar asas yang sudah ada, yakni rakyat terbebas dari hoax (berita bohong) dan suguhan data fiktif dan manipulatif.

Di negara demokrasi manapun, pemilu dapat berlangsung secara demokratis, jika melibatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebagaimana isi konstitusi. Rakyat bukan hanya sebagai objek, tapi juga subjek pemilu (baik pileg, pilpres maupun pilkada), demi menjamin integritas penyelenggara dan proses pemilu.

Lantas bagaimana dengan wacana agar pemilihan gubernur dilakukan oleh  lembaga legislatif? Akan kami coba ulas pada edisi berikut.(Azisoko).

Berita Terkait

Kopi Pagi: Awali dengan Senyuman

Kamis 02 Jan 2025, 07:59 WIB
undefined

Kopi Pagi: Membangun Kepercayaan Baru

Kamis 09 Jan 2025, 08:02 WIB
undefined

Kopi Pagi: Pileg Masa Depan

Senin 13 Jan 2025, 08:02 WIB
undefined

Kopi Pagi: Menyoal Sistem Pemilu  

Kamis 16 Jan 2025, 08:03 WIB
undefined

News Update