Tak terkecuali kalangan parpol itu sendiri, baik yang lolos maupun tidak lolos ke parlemen. Merunut ke belakang, sejumlah parpol berkehendak angkanya dinaikkan menjadi 5 persen, bila perlu sebesar 7 persen. Tujuannya mengurangi jumlah parpol dan menyederhanakan sistem kepartaian.
Berapa jumlah parpol yang ideal pun masih kontroversi, tetapi sementara kalangan menyebutkan angka 8 hingga 10 sudah cukup bagus. Tidak sedikit, tidak juga terlalu banyak.
Pertanyaannya kemudian bagaimana menyeleksi parpol hingga berjumlah seperti diharapkan agar kontrol DPR terhadap pemerintah lebih efektif, pemerintahan pun dapat berjalan dengan lebih efisien.
Kembali jawabnya adalah penerapan ambang batas secara proporsional, berkeadilan dan berkedaulatan rakyat.
Jika angka ambang batas diturunkan, sebut saja 1 persen atau 2 persen, dapat dipastikan jumlah parpol akan melimpah. Sementara kita tahu, dengan banyaknya jumlah parpol akan berdampak kepada fragmentasi politik yang kian menajam.
Pembuatan kebijakan pun akan menjadi berlarut, ini akan menghambat program kerja pemerintah yang berujung kepada kerugian masyarakat.
Sebaliknya, jika angka ambang batas dinaikkan, jumlah parpol akan semakin sedikit. Pengambilan kebijakan di DPR akan lebih cepat, pemerintahan lebih efektif .
Hanya saja, jika angka ambang batas dinaikkan, akan banyak partai yang gagal masuk parlemen. Selain itu, terdapat banyak suara pemilih yang hilang, tidak dapat dikonversi pada kursi di DPR, boleh jadi semakin besar selaras dengan angka kenaikan ambang batas.
Pada pemilu 2019, terdapat 13.595.842 atau 9,7 suara sah nasional terbuang alias tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR. Pada pemilu 2024 lalu, jumlah suara terbuang meningkat menjadi sekitar 17 juta, karena dari 18 parpol peserta pemilu, hanya 8 parpol yang lolos parlemen. Selebihnya tidak lolos, sebagian besar parpol baru.
Jalan tengah harus ditempuh, bagaimana merumuskan angka angka batas untuk menyeleksi parpol, tetapi tidak membuang banyak suara sah.
Ada pemikiran, seleksi parpol peserta pemilu harus lebih ketat misalnya tidak semua parpol baru bisa langsung ikut pemilu. Uji publik dengan masa tenggang waktu minimal lima tahun, bisa menjadi renungan bersama.
Hal lainnya, angka ambang batas dilakukan secara proporsional bagi partai baru dan partai lama, minimal yang sudah dua kali ikut pemilu.