Dua hari lagi kita melangkah untuk memasuki tahun baru, tahun 2025.
Lazimnya sebelum akhir tahun kita perlu merefleksi diri atas apa-apa yang telah kita jalani. Yang buruk, ternoda dan yang tercela kita tinggalkan. Yang baik kita teruskan dan tingkatkan.
“Nih ini kebiasaan kalian refleksi diri dilakukan setiap akhir tahun. Kalau menurut saya refleksi diri hendaknya setiap hari, bahkan setiap waktu,” kata bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.
“Loh refleksi akhir tahun itu bertujuan untuk mengevaluasi perjalanan selama setahun ini, kalau harian lain lagi,” kata Yudi.
“Meski evaluasi menyeluruh selama setahun, tetapi perbaikan yang dilakukan mulai tahun depan tetap dilakukan dari hari ke hari, tidak mungkin dilakukan sekaligus,” ujar Heri.
“Ini kalau diteruskan bisa debat kusir, kusirnya sudah pergi debatnya tiada henti, ngalor ngidul tak karuan. Menurut kamu gimana Bro,” ujar Yudi.
“Pendapat kalian berdua tidaklah salah, tetapi tidak sepenuhnya benar,” jelas mas Bro.
“Jangan makin bikin bingung dong Bro, maksudnya gimana?,” tanya Yudi.
“Loh refleksi akhir tahun perlu apalagi bagi sebuah institusi sebagai bahan pijakan tahun depan. Evaluasi harian juga tak kalah pentingnya karena kita melaksanakan tugas setiap hari yang harus tetap dievaluasi,” jelas mas Bro.
“Terus tidak sepenuhnya benar?,” kata Heri.
“Tidak sepenuhnya benar, kalau refleksi hanya sebatas evaluasi, tanpa adanya aksi,” kata mas Bro.
“Kalau itu saya setuju banget, apalagi jika refleksi dilakukan tanpa adanya kejujuran,” ujar Heri.
“Betul. Refleksi harus dilakukan secara sungguh – sungguh. Harus sesuai hati nurani, bukan malah menutupi diri atas segala kekurangan yang telah diperbuat.
Menyembunyikan kekeliruan dan kesalahan agar terbebas dari penilaian buruk,” urai mas Bro.
“Jika menyembunyikan keburukan, bagaimana mungkin melakukan perbaikan di tahun depan. Yang ada, malah keburukan akan datang berulang,” kata Yudi.
“Apalagi jika merefleksi diri, tetapi yang dievaluasi adalah keburukan pihak lain dengan tujuan menutupi keburukan diri sendiri. Ini nggak fair namanya,” tambah Heri.
“Lah namanya refleksi kan perlu memperhatikan faktor internal dan eksternal,” kata Yudi.
“Iya sih, tetapi faktor internalnya jangan ditutupi, Yang lebih penting lagi ada upaya memperbaiki tiada henti. Tanpa itu, tiada arti merefleksi diri,” urai mas Bro. (Joko Lestari).
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di google dan jangan lupa ikuti kanal Whatsapp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.