POSKOTA.CO.ID - Penggerebekan sebuah indekos di tengah-tengah pemukiman di kawasan Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan cukup menggegerkan warga setempat.
Bagaimana tidak, bangunan indekos tersebut ternyata dijadikan tempat prostitusi oleh beberapa penghuninya.
Bahkan saat penggerebekan terdapat depalan perempuan dan satu orang pria diamankan.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis menilai praktik prostitusi atau pelacuran di tengah-tengah masyarakat sudah ada sejak dulu.
Dia menyebut prostitusi sebagai salah satu pekerjaan tertua di muka bumi. Karena itu tidak heran jika ada praktik prostitusi di sebuah indekos, apartemen dan bahkan rumah tinggal.
"Saya kira persoalan prostitusi akan terus ada. Prostitusi itu salah satu dari lima pekerjaan tertua di muka bumi, berdagang, bertani, prostitusi itu yang nomor lima," ujar Rissalwan kepada Poskota, Jumat 27 Desember 2024.
Salah satu sejarah prostitusi atau brothel house, kata Rissalwan, tercatat pada masa pembangunan Gedung Putih di era George Washington.
Bahkan sangat jauh lebih tua lagi, konon pada saat masa pembangunan Piramida di Mesir dunia esek-esek sudah eksis.
Tentunya dengan semakin berkembang zamannya, bisnis prostitusi pun turut mengalami modifikasi.
"Artinya upaya manusia untuk bisa bertahan hidup mencari nafkah, walaupun secara moral tidak dibenarkan atau dalam kondisi yang paling rendah. Orang lain berjualan barang tapi dia berjualan kehormatannya kan begitu," ungkap Rissalwan.
Menurut Rissalwan, selain faktor ekonomi yang membuat bisnis birahi eksis di tengah-tengah masyarakat, juga terkait dengan kontrol masyarakat.
Sebagai contoh, situasi berbeda dengan penjual minuman keras (miras) atau pesta miras yang juga kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat bakal lebih responsif terhadap penjual miras dibanding pelacuran.
"Pelakunya perempuan kan, jadi tentunya melakukan kekerasan terhadap perempuan meski mereka sudah terbukti melanggar norma kesopanan dan sebagainya tapi tetap perempuan tidak mungkin diperlakukan dengan keras beda dengan miras," beber Rissalwan.
Selanjutnya, sambung Rissalwan, karena adanya faktor supply-demand atau penawaran dan permintaan.
Artinya bisnis prostitusi tidak diinisiasi oleh pekerja seks komersial itu sendiri tapi juga keterlibatan kaum pria sebagai pembeli.
Karena itu jika indekos yang dijadikan tempat prostitusi itu sudah berlangsung lama, tidak menutup kemungkinan demand ada sekitarnya.
"Bahwa masyarakat itu patut diduga juga mereka mendapat manfaat dari keberadaan kos-kosan itu," kata Rissalwan.
Lanjut Rissalwan, salah satu cara untuk meminimalisir atau mempersempit bisnis haram tersebut adalah dengan memutus supply-nya.
Dia meyakini jika ada pekerjaan lain yang lebih mudah dan nilai ekonominya setara, dapat dipastikan perempuan akan memilih pekerjaan lain dibanding menjual diri.
Mereka juga sadar pelacuran adalah pekerjaan yang paling memalukan bagi dirinya dan keluarganya.
"Seandainya ada pekerjaan pengganti yang membuat dia setara uang yang dia dapat, dia pasti akan pilih itu (pekerjaan lain)," ucap Rissalwan.
Kemudian terkait dengan pelaku prostitusi yang sudah diamankan lalu diberi pelatihan tapi tetap terjun ke bisnis haram, kata Rissalwan, hal itu karena ada yang kurang tepat dalam penanganannya.
Sebagai contoh, seorang pelacur sekali kencan bisa dapat Rp300-500 ribu, lalu diberi pelatihan menjahit dan memasak yang penghasilannya untuk mendapatkan Rp500 ribu butuh sepekan.
"Jadi ini juga tidak cerdas menurut saya. Ini dari sisi suplainya jadi kalau mau dihilangkan berarti kita harus bisa mencari pekerjaan yang memang setara pendapatannya dengan yang mereka dapatkan dengan cara menjual kehormatan," jelas Rissalwan.
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.