Pengantar : Pilkada serentak telah usai, pemenang kontestasi akan diumumkan oleh KPU mulai pekan ini. Merajut kembali kerukunan dengan membangun simpati, bukan antipati, menjadi kebutuhan pasca-Pilkada. Dua tema tersebut kami sajikan pada Senin dan Kamis pekan ini.
“Mari kita rajut kembali kerukunan dengan melepaskan ego pribadi, kelompok, kepentingan, kekuasaan dan jabatan serta ego-ego yang lain ..”
-Harmoko-
Hiruk pikuk pilkada telah usai, yang mencuat kemudian adalah euforia kemenangan versi hitung cepat maupun real count internal partai pendukung dan timsesnya.
Klaim kemenangan sah-sah saja, yang belum sah jika menyatakan dirinya sebagai gubernur terpilih.
Menyambut kemenangan tidaklah salah, apalagi sudah ditunggu-tunggu selama ini, selangkah lagi harapan akan menjadi kenyataan.
Tentu, legalitas kemenangan menjadi nyata, setelah KPU melakukan sidang pleno untuk mengambil keputusan siapa pasangan pemenang kontestasi.
Selama klaim kemenangan selaras dengan hasil keputusan KPU, tidak akan menimbulkan masalah. Problem mencuat, jika kemenangan yang sudah dideklarasikan, ternyata jauh beda dengan keputusan KPU.
Lebih-lebih pada daerah pilkada dengan quick count (hitung cepat ) yang hasilnya tidak jauh berbeda. Selisih perolehan suara sangat tipis antara calon yang berlaga. Ada sejumlah kabupaten/kota yang memperlihatkan selisih perolehan suara sangat dekat, hanya koma yang membedakan.
Kondisi yang demikian bisa menjadi embrio perselisihan, sengketa hasil pilkada, jika masing-masing calon bersikukuh dengan hasil real count internalnya.
Gugatan sengketa pilkada tidak terbantahkan, sebagai upaya menegakkan keadilan berdemokrasi. Dan, upaya ini lebih dianjurkan ketimbang melalui jalur lain lain, di luar proses hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri memprediksi bakal ada 324 perkara sengketa pilkada serentak tahun 2024 yang digelar di 545 daerah. Angka ini merupakan asumsi jumlah perkara pilkada sebelumnya.
Maknanya sengketa pilkada sudah dapat diprediksi, begitu solusi untuk menyelesaikannya. Yang terpenting, selama sengketa hasil pilkada dalam proses penyelesaian, semua pihak utamanya mereka yang terlibat dalam kontestasi, perlu menahan diri, tidak terprovokasi oleh informasi pihak – pihak yang mencoba memanas- manasi situasi.
Gunakan peluang untuk mengajukan gugatan ke MK, jika merasa diperlakukan tidak adil, dicurangi atau memperoleh perlakuan diskriminasi dalam pilkada.
Namun, pada akhirnya semua pihak harus legowo menerima keputusan akhir dari MK yang bersifat final dan mengikat.
Kalau bicara kepuasan, tentu tiada berujung. Begitu juga rasa keadilan, tentu akan selalu ada yang kurang, jika mendasarkan kepada subjektivitas individu.
Saling menghargai, bagian tak terpisahkan dari upaya membangun demokrasi yang bermartabat.
Yang diperlukan sekarang bagaimana merajut kembali kerukunan antar kubu yang sebelumnya berseberangan. Pasca Pilkada hendaknya menjadi momen berpikir jernih dan membangun kembali komunikasi dan persaudaraan sesama anak bangsa, bukan memperkeruh suasana. Bukan menebar hasutan, kebencian dan permusuhan.
Para leluhur mengajarkan “Wani ngalah luhur wekasane” ( berani mengalah, akan mulia di kemudian hari).
Orang mampu mengalah, menekan segala egonya dalam suatu pergaulan, persaingan , kompetisi, kontestasi, dan apapun namanya, dijanjikan akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, lebih mulia di kemudian hari.
Dalam konteks ini, mengalah bukanlah kalah, tetapi sebuah kemenangan karena mampu menyingkirkan ego pribadi, menunda kepentingan diri sendiri demi mendahulukan kepentingan orang lain. Berani menunda kebahagian diri sendiri demi mendahulukan kebahagiaan orang lain. seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Ini mengajarkan kepada kita perlunya pengendalian diri, mengelola ego pribadi, bersabar menghadapi cobaan, rasa syukur karena masih ada kemampuan membahagiakan orang lain. Masih diberi kesempatan untuk membantu orang yang lebih membutuhkan. Ini sejatinya sebuah kemenangan besar.
Ujung dari perbuatan tersebut adalah diperolehnya kebahagian. Mari kita rajut kembali kerukunan dengan melepaskan ego pribadi, kelompok, ego kepentingan, kekuasaan dan jabatan serta ego –ego yang lain sebagai penghambat kerukunan dan kesatuan.
Kita memiliki “PR” besar dalam memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PR itu akan menjadi semakin ringan, jika tercipta kerukunan dari semua elemen bangsa. Bukankah “rukun agawe santosa,” (Azisoko).
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.