Netralitas Pilkada Bukan Sebatas Retorika

Rabu 20 Nov 2024, 07:56 WIB
Aktivitas warga saat melakukan pendaftaran dan simulasi pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta di Kantor Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (17/11/2024). Komisi Pemilihan Umum Kota Administrasi Jakarta Pusat menggelar simulasi yang dilakukan semirip mungkin dengan situasi saat pemungutan suara dan penghitungan suara saat Pilkada DKI berlangsung pada 27 November 2024 guna mitigasi terkait segala kemungkinan yang terjadi saat hari H pencoblosan sekaligus menjadi bahan evaluasi sebelum pencoblosan.Poskota/Ahmad Tri Hawaari

Aktivitas warga saat melakukan pendaftaran dan simulasi pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta di Kantor Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (17/11/2024). Komisi Pemilihan Umum Kota Administrasi Jakarta Pusat menggelar simulasi yang dilakukan semirip mungkin dengan situasi saat pemungutan suara dan penghitungan suara saat Pilkada DKI berlangsung pada 27 November 2024 guna mitigasi terkait segala kemungkinan yang terjadi saat hari H pencoblosan sekaligus menjadi bahan evaluasi sebelum pencoblosan.Poskota/Ahmad Tri Hawaari

Netralitas menjadi diskusi yang tiada henti setiap gelaran pemilihan umum, tak terkecuali dalam pilkada serentak 2024, yang bakal digelar 27 November.

Terkait dengan netralitas tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi rujukan pemberian sanksi bagi Aparatur Sipil Negara ( ASN), pejabat desa, pejabat daerah, dan pejabat negara serta aparat TNI/Polri yang melanggar netralitas.

Dengan keputusan MK yang dikeluarkan 14 November 2024 ini, memungkinkan dikenakan sanksi kepada pelanggar berupa pidana penjara paling lama enam bulan dan denda maksimal Rp6 juta.

Putusan MK ini disambut positif oleh berbagai kalangan, tentu bukan soal pemberian sanksi dan besar kecilnya sanksi, tetapi lebih kepada adanya kejelasan pihak mana saja yang dapat terkena sanksi, jika melanggar netralitas dalam proses pilkada.

Dengan keputusan MK ini dapat dikatakan asas legalitas semakin jelas, setidaknya panduan hukum kian rinci bagi masing – masing institusi dalam memberikan sanksi terhadap aparatnya yang melanggar netralitas.

Jika semuanya sudah jelas, tentu, tinggal menunggu penerapannya. Semua pihak sangat berharap penerapan sanksi tidak bias akibat pelanggaran netralitas yang tidak jelas.

Kita tahu, sikap netral dalam pilkada itu tersamar, tersembunyi, tidak dilakukan secara transparan. Sikap memihak dalam memberikan dukungan kepada paslon tertentu, tidak dilakukan secara terang – terangan. Karena, tadi, sudah terdapat rambu – rambu yang mengatur netralitas aparat negara.

Sosialisasi ataupun pembekalan agar menjaga netralitas bagi ASN dan aparat negara dari tingkat bawah hingga pucuk pimpinan sudah sering ditekankan oleh masing – masing institusinya.

Menjadi persoalan, jika terdapat main mata dalam aksi tersembunyi dalam menjaga netralitas tersebut.Lebih repot lagi, jika dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif untuk memenangkan paslon tertentu.

Namun, kami meyakini pelanggaran netralitas dalam pilkada serentak tahun ini tidak akan terjadi karena adanya kesadaran yang sangat tinggi dari semua elemen bangsa, tak terkecuali aparatur negara, untuk mewujudkan pilkada yang selain luber ( langsung umum, bebas rahasia), juga mengedepankan asas jurdil (jujur dan adil).

Aparat pemerintah, apapun pangkat dan jabatannya, diharapkan memberikan keteladanan dalam menjaga netralitas. 

Selain, tentunya, mengawal para pemilih menentukan pilihannya sesuai hati nurani. Tanpa adanya paksaan, tekanan dan intimidasi dalam bentuk apapun. Semoga netralitas dalam pilkada bukan sebatas retorika.(*).

Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari. 

Berita Terkait
News Update