“Keteladanan menjadi penting karena tugas pemimpin adalah membujuk, mengajak dan mengajari serta mendidik masyarakat. Kebersamaan membangun negeri, berarti merangkul semua pihak, tanpa pembedaan, tanpa mengungkit masa lalu..”
-Harmoko-
Masing-masing orang, baik secara individu maupun berkelompok memiliki masa lalu. Begitupun kehidupan dunia politik, pemerintahan dan kelembagaan.
Yang hendak saya sampaikan, hendaknya apapun keburukan masa lalu janganlah selamanya dijadikan sandungan dalam menapaki perjalanan masa depan, dalam konteks lebih luas membangun negeri.
Itulah sebabnya, sering dikatakan dendam politik tidaklah etik. Perseteruan masa lalu, yang sudah kita lewati hendaknya diakhiri. Jangan senantiasa terbawa-bawa, diungkit lagi, ketika kita sudah sepakat “mari bersama membangun negeri”.
Lebih-lebih dalam dunia politik dikenal istilah “ tiada lawan abadi” . Awal Februari lalu (2024) misalnya menjadi ‘lawan dan rival’ tetapi hanya dalam hitungan hari, bahkan bisa juga menit, bisa berubah menjadi ‘kawan’.
Itulah kehidupan yang serbaneka dan penuh dinamika yang seyogyanya tak ada lagi dendam, apalagi ‘dendam politik’
Mencermati dinamika politik yang terjadi, kini sejak kabinet Merah Putih terbentuk, semuanya kekuatan politik telah bersepakat menjadi “kawan seperjuangan” untuk membangun dan memajukan bangsa dan negara. Bersama-sama memperkuat pondasi menuju Indonesia Emas 2045.
Bahwa di dalamnya terdapat kepentingan kelompok, partai dan kelembagaan, itu tidak terbantahkan, tetapi diyakini kepentingan rakyat di atas segalanya.
Jika sudah bicara kepentingan rakyat, segala macam kepentingan bangsa dan negara, harus luluh.
Guna mencapai tujuan akhir cita-cita bangsa, yakni masyarakat yang adil dan makmur, dan makmur yang berkeadilan, marilah kita bersatu dengan melupakan masa lalu, tentu segala keburukan baik dalam kapasitasnya sebagai kawan maupun lawan.
Semua elemen bangsa wajib bersatu dengan tidak lagi mengungkit masa lalu. Pepatah mengatakan,” “ Masa lalu saya adalah milik saya. Masa lalu kamu adalah milik kamu. Tapi masa depan adalah milik kita”.
Ini tak ubahnya ajakan untuk tidak mengungkit masa lalu seseorang, apa dan bagaimanapun masa lalunya itu, jika ingin bersama membangun masa depan.
Mengapa? Setidaknya ada empat hal yang perlu dijadikan catatan. Pertama, dengan selalu mengungkit masa lalu akan menghambat jalinan silaturahmi kita.
Kedua, dengan selalu mengungkit masa lalu, apalagi dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, akan membuat pribadi yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Tersiksa batinnya.
Ketiga, dengan selalu mempersoalkan masa lalu akan menjadi ganjalan dalam membangun masa depan.
Keempat, dengan terus mengungkit masa lalu, meski dapat hidup bersama, tetapi sejatinya tak ada kebersamaan. Secara fisik boleh jadi bersama-sama, tetapi tidak ada kebersamaan.
Secara dukungan politik, jelas satu barisan, satu koalisi, tetapi tidak dalam kebersamaan, jika masih ada luka di hati. Apalagi jika luka lama bersemi kembali akibat perseteruan , tiadanya selaras dalam perjalanan membangun bangsa.
Sejumlah literatur menyebutkan “kebersamaan” adalah ikatan yang terbentuk karena rasa kekeluargaan /persaudaraan.
Lebih dari sekadar bekerja sama atau hubungan profesional biasa karena di dalamnya, lazimnya, lebih mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi.
Jika sudah masuk ke dalam rumah yang disebut “persatuan “, dengan sendirinya harus rela melepaskan diri dari beragam latar belakangnya.
Tidak lagi bicara soal asal-usulnya dari mana, agama apa, suku mana, kelompok politik mana, dulu tim sukses siapa, mendukung siapa.
Begitu pun latar belakang status sosial ekonominya. Tidak juga menyimpan segala hikayat
politik masa lalu yang berujung dendam dan perseteruan berkepanjangan.
Upaya ini dapat dicapai jika ditopang keteladanan dari pejabat dan elite politik yang telah diberi amanah untuk bersama rakyat memajukan negeri demi tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana tujuan negeri ini didirikan.
Keteladanan menjadi penting karena tugas pemimpin adalah membujuk, mengajak dan mengajari serta mendidik masyarakat.
Dalam konteks kebersamaan membangun negeri, berarti merangkul semua pihak, tanpa pembedaan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” d media ini.
Bersatu padunya seluruh kekuatan sangat dibutuhkan di era sekarang guna menghadapi beragam tantangan, dan kian kompleksnya permasalahan yang harus segera dituntaskan.
Program pembangunan terasa lebih ringan, lebih mudah dijalankan untuk mencapai tujuan, demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat tanpa terkecuali. Semoga. (Azisoko).
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.