Pengantar: Komitmen kebangsaan tak sebatas di atas kertas. Tak cukup slogan dan ucapan penuh retorika tanpa aksi nyata.Tema ini kami angkat terkait dengan peringatan Hari Pahlawan tahun ini. Artikel disajikan dalam dua seri di kolom ini. (Azisoko).
“Para pejuang dan pendiri bangsa menyadari begitu pentingnya
sikap toleransi yang mampu menciptakan persatuan, membawa banyak manfaat
bagi kemajuan bangsa dan negara..”
-Harmoko-
Kita sering mendengar slogan “NKRI Harga Mati”, bahkan dapat dikatakan slogan tersebut sudah tersosialisasi dengan baik hingga ke seluruh penjuru negeri.
Sudah membumi hingga anak-anak pun sudah akrab dengan slogan tersebut. Jika seorang guru TK atau SD, atau orangtua berkata “NKRI”, tak jarang jawab si anak “Harga mati”.
Maknanya, NKRI dan harga mati, dua kalimat yang sudah menyatu, tak terpisahkan dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, sudah teredukasi sejak dini.
Yang hendak saya sampaikan, menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, kesatuan dan kebhinekaan, sudah menjadi komitmen bersama. Itulah komitmen kebangsaan yang hendaknya terus kita rawat, jaga bersama dan tak kalah pentingnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ini menuntut adanya penyatuan dalam pikiran, jiwa dan raga bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disinilah perlunya keteladanan. utamanya para pejabat, aparat, dan birokrat bagaimana mencerminkan ucapan dan perbuatan sebagaimana diamanatkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, yang di dalamnya begitu luas cerminan menjaga persatuan dan kesatuan dan kebhinekaan.
Kesatuan akan goyah, jika masing -masing individu cenderung bersikap primordial dan eksklusivisme. Makin jauh dari sikap kekeluargaan dan kegotongroyongan. Tanpa mengenal tetangga dan lingkungan di mana berada.
Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Bagaimana mungkin pondasi persatuan makin kuat dan kokoh, jika tanpa adanya ikatan sosial dan kekerabatan serta kekeluargaan.
Sementara ikatan kekeluargaan akan sulit teraplikasi, tanpa adanya harmonisasi komunikasi - silaturahmi.
Sikap - sikap kekeluargaan dan kegotong royongan sebagai perekat persatuan inilah yang perlu ditanamkan secara terus menerus, konsisten dan berkesinambungan kepada generasi muda, generasi milenial dan digital sejak usia dini.
Bukan sebatas teori, tetapi melalui keteladanan mutlak.
Menuju Indonesia Emas kian dibutuhkan keteladanan sikap, utamanya keteladanan pejabat negara yang kian peduli kepada seluruh rakyat, tanpa adanya perbedaan.
Kita sadar betul pembedaan perlakuan akan menjadi embrio perpecahan, memunculkan rasa saling curiga yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Saat sekarang ini dibutuhkan kekompakan, kebersamaan, dan kerja sama dari seluruh elemen bangsa, dengan, tentunya, tanpa melihat latar belakang status sosial ekonominya, lebih-lebih afiliasi politiknya.
Kerja bareng semakin menjadi satu solusi untuk menggapai cita-cita sejak negeri ini didirikan.
Hanya saja, patut dicatat yang sangat dibutuhkan adalah kerja bersama tanpa curiga itu menjadi salah satu bentuk implementasi perilaku komitmen kebangsaan.
Lainnya, adalah toleransi. Kita paham, kian tegak kokohnya NKRI juga tak lepas dari sikap toleransi yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia yang sudah tertanam sejak era perjuangan hingga kini.
Toleransi disadari sebagai tali perekat persatuan di tengah keberagaman. Oleh karena sikap toleransi itulah para pejuang melepaskan ego pribadi, kelompok dan latar belakang kedaerahan, keagamaan, dan kesukuan.
Para pejuang dan pendiri bangsa menyadari begitu pentingnya sikap toleransi yang mampu menciptakan persatuan, membawa banyak manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara. Itulah sebabnya sikap toleransi menjadi satu butir panduan dalam pengamalan nilai- nilai falsafah bangsa kita, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Toleransi adalah menghargai perbedaan pendapat, menghargai tindakan orang lain, meski tak sesuai dengan kehendak dan pendirian kita.
Kemampuan mengendalikan diri, menekan kehendak pribadi demi kepentingan umum – kepentingan yang lebih luas lagi, itulah sejatinya toleransi.
Dengan begitu dapat dikatakan komitmen kebangsaan wajib diikuti dengan perilaku yang mencerminkan sikap kekeluargaan, kegotongroyongan, kerja bersama tanpa curiga, tanpa pula menyelipkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Tak kalah pentingnya, penuh toleransi, bukan intoleransi. Saling menghormati, bukan menghakimi dan saling caci maki. Bukan pula mau menang dan benarnya sendiri. (Azisoko).
Dapatkan update berita terbaru dan breaking news setiap hari dari Poskota. Ikuti saluran WhatsApp Poskota serta Google News Poskota.