“Partisipasi yang dipaksakan tidak saja akan dijauhi, tetapi dapat menimbulkan antipati. Walaupun dipaksakan karena adanya kekuatan dan kekuasaan, tingkat partisipasi yang muncul hanyalah di permukaan, partisipasi semu..”
-Harmoko-
Sering dikatakan oposisi dalam sebuah pemerintahan adalah keniscayaan.Oposisi acap disebut sebagai kekuatan penyeimbang dalam membangun sebuah pemerintahan, siapa pun presidennya.
Pendapat tersebut tidaklah salah, jika kekuatan oposisi dipergunakan untuk berusaha meluruskan jalan yang bengkok, guna melempangkan arah yang berpotensi menyimpang .
Artinya tidak ada pertentangan di dalamnya, tidak juga menciptakan terjadinya benturan.Tidak ada gontok-gontokan, perpecahan dan perseteruan dalam menapaki jalan panjang mencapai tujuan, mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menjadi beda makna, jika oposisi dibangun untuk memproduksi pertentangan dan perbedaan, asal menjadi beda.
Padahal yang dibutuhkan era sekarang, guna memantapkan pondasi menuju visi Indonesia Emas 2045 adalah keharmonisan dan keselarasan dalam menyatukan perbedaan.
Meski diakui perbedaan tidak bisa kita tolak keberadaannya, tetapi perbedaan yang ada bukan lantas dijadikan alasan untuk membeda-bedakan perlakuan negara kepada rakyatnya yang berujung kepada perbedaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Perbedaan itulah yang kemudian dapat menciptakan embrio kesenjangan sosial baru. Jika tidak disebut memperlebar kesenjangan dan ketidakadilan.
Itulah sebabnya melibatkan partisipasi publik, tanpa kecuali, dalam setiap gerak langkah pembangunan menjadi keharusan. Tidak saja di dalam tataran perumusan kebijakan, tetapi hingga pelaksanaan program dari pusat hingga daerah, dan masyarakat bawah (akar rumput).
Mengapa? Jawabnya karena merekalah yang harus dibangun, merekalah yang sewajarnya menikmati hasil dari apa yang dibangun, tetapi mereka pula yang tahu persis apa yang harus dibangun di daerahnya. Lebih paham apa yang mereka butuhkan saat ini dan ke depan. Mana yang mendesak, mana pula bagian yang bisa ditunda untuk sementara.
Yang hendak kami sampaikan adalah janganlah rakyat sebagai penonton program pembangunan, tetapi hendaknya dijadikan sebagai pelaku pembangunan. Ini sering disebut membangun partisipasi aktif.
Banyak cara dan pola yang dapat dilakukan, tentunya dengan menyesuaikan dengan karakter masyarakat setempat, mengenai adat dan budayanya.
Membangun swasembada pangan, energi dan air adalah program secara makro, tetapi pelaksanaan teknis di lapangan, sangat membutuhkan keterlibatan masyarakat.
Sebab, merekalah sejatinya yang berkontribusi secara langsung memproduksi pangan untuk rakyat baik sebagai pemilik lahan maupun pekerja sektor pertanian pertanian.
Mereka lebih paham apa yang dibutuhkan saat sekarang guna meningkatkan produktivitas, apa kendala dan problemnya, serta akses pasarnya. Juga sejauh mana batas kemampuan sumber daya alam dan manusianya.
Membangun partisipasi adalah membangun kesadaran, bukan melalui paksaan sebagaimana telah diamanatkan dalam falsafah bangsa kita, Pancasila, di antaranya sikap toleran, tenggang rasa, tidak semena-mena, tidak pula memaksakan kehendak kepada orang lain.
Partisipasi yang dipaksakan tidak saja akan dijauhi, tetapi dapat menimbulkan antipati. Walaupun dipaksakan karena adanya kekuatan dan kekuasaan, tingkat partisipasi yang muncul hanyalah di permukaan. Sering disebut sebagai partisipasi semu, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Padahal program pembangunan akan membawa keberhasilan , jika didukung sepenuhnya oleh partisipasi rakyat, bukan segelintir orang sebagai penikmatnya.
Program akan mendatangkan partisipasi jika sejalan dengan kehendak masyarakat, sesuai kebutuhan masyarakat, dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat. Tidak pula berseberangan dengan nilai-nilai dan adat budaya setempat seperti dianjurkan para leluhur kita.
Catatan historis menyebutkan, keberhasilan Sunan Kalijaga dalam membangun umat (Islam) di nusantara ini karena sikap bijak, kelembutan dan kesabaran.
Sunan Kalijaga yang bernama Raden Said ini berpendapat masyarakat akan menjauhi jika diserang pendiriannya dan adat budayanya yang sudah menjadi prinsip hidupnya. Karenanya masyarakat harus didekati secara bertahap : Mengikuti sambil terus mempengaruhi.
Modal menggerakkan partisipasi sudah dimiliki oleh Pemerintahan Prabowo Subianto dengan besarnya tingkat keyakinan publik ke depan lebih baik, yang mencapai 85,3 persen sebagaimana hasil survei.
Semoga dengan terbangunnya kesadaran berpartisipasi secara aktif, rakyat akan “rumongso melu handarbeni dan wajib melu angrungkebi”- merasa ikut memiliki dan wajib merawat dan menjaga setiap program dan kebijakan yang digulirkan pemerintah, berikut hasil- hasilnya. (Azisoko).
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.