Fenomena politik uang yang terjadi setiap jelang pemilu selalu dibahas dan dikupas. Berbagai cara pun dilakukan agar pemilu bebas dari politik uang, termasuk dalam gelaran pilkada bulan depan.
Aturan hukum menyebutkan sanksi akan diberikan, baik kepada pemberi maupun penerima politik uang.
Tak kurang lembaga keagamaan pun mengeluarkan seperti MUI dan PP Muhammadiyah fatwa bahwa fenomena politik uang dalam pilkada serentak 2024 haram hukumnya.
Dinyatakan ,segala bentuk suap, sogokan dan imbalan untuk transaksi jual beli suara atau risywah politik adalah haram.
“Ingat ya, haram hukumnya. Makanya jangan sampai tergoda dengan jual beli suara dalam pilkada,” kata bung Heri mengawal obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.
“Kalau kepepet gimana?,” tanya Yudi.
“Nggak ada istilah kepepet atau dipaksa. Kalau secara hukum dilarang, ya jangan dilanggar. Kalau disebut haram, ya jangan dekat – dekat, tetapi menjauhi,” jelas Heri.
“Menjauhi bukan lantas memusuhi pihak –pihak yang akan memberi uang atau imbalan. Dengan menolak, setidaknya dapat saling mengingatkan bahwa mendulang suara dengan politik uang itu tidak dibenarkan,” kata mas Bro.
“Makin menyadarkan kepada peserta kontestasi agar tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan, termasuk melalui jual beli suara ,” kata Yudi.
“Berarti kalau ada yang menyogok, menyuap atau memberi imbalan agar kita memilih paslon tertentu, kita tolak ya,” tanya Heri.
“Iya tolak saja, lagi pula tidak berkah,” jawab Yudi.
“Bukan hanya yang menerima politik uang, yang memberi juga hidupnya tidak berkah. Itu kata ulama,” sela Ayu Bahari, pedagang warteg ikut nimbrung.
“Jelasnya, politik uang dalam pemilu merusak integritas demokrasi, mendorong korupsi dan dilarang secara hukum dan agama karena mempengaruhi pilihan pemilih dengan imbalan materi,” kata mas Bro.
“Anehnya, meski dilarang dan dinyatakan haram, politik uang masih terus dilakukan dengan segala cara, dari pilkada ke pilkada,” kata Heri.
“Aksi semacam itu jelas tidak benar, apakah kita selamanya memihak kepada yang tidak benar. Saatnya kita memihak yang benar, bukan yang bayar,” urai mas Bro.
“Tetapi mencegah politik uang tak cukup dengan kata. Yang terpenting adalah aksi nyata, utamanya mereka yang sedang ikut kontestasi serta para elite politik yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada,” kata Heri.
“Jangan di depan teriak cegah politik uang, tetapi di belakang sembunyi-sembunyi melakukannya demi kemenangan. Utu namanya tidak konsekuen,” jelas mas Bro. (Joko Lestari).
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.