MPR Harus Melantik Presiden, Bukan Menonton

Senin 14 Okt 2024, 07:57 WIB
Foto udara gedung MPR/DPR.(Poskota/Ahmad Tri Hawaari)

Foto udara gedung MPR/DPR.(Poskota/Ahmad Tri Hawaari)

MAJELIS Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan bersidang pada 20 Agustus dengan agenda pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan wapres Gibran Rakabuming Raka.

Namun, hal yang satu ini, yakni urusan pelantikan, menimbulkan tanya di kalangan masyarakat, sebab senyatanya, selama ini MPR hanya mempersilakan Presiden mengucapkan sumpah, tidak ada aktivitas MPR yang menunjukkan Lembaga tinggi negara ini melantik Presiden dan atau Wakil Presiden.

Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen) Pasal 3 (ayat 2), hal tersebut sudah sangat jelas. Bunyinya: Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan atau Wakil Presiden.

Sekali lagi, selama ini MPR tidak melakukan melantik, tetapi hanya mempersilakan Presiden mengucapkan sumpah.

Dengan demikian, Presiden seperti melantik diri sendiri, seperti halnya dalam dunia kerajaan, raja menobatkan diri, bukan dilantik, karena raja adalah penguasa tertinggi di dalam negara kerajaan, sehingga tidak ada pihak yang berhak melantiknya. Jadi raja melantik diri sendiri.

Soal pelantikan Presiden tersebut juga mendapat perhatian dari pakar hukum tata negara termasyhur, Profesor Dr Jimly Assidiqie. Menurut dia, kewenangan MPR sekarang banyak yang harus diperbaiki, salah satunya terkait pelantikan Presiden tersebut.

Saat bicara di MPR belum lama ini, Prof Jimly mengatakan, MPR punya wewenang melantik Presiden dan Wapres.

“Pernahkan MPR melantik presiden, tidak pernah. Yang ada hanya membuka sidang dan mempersilakan presiden mengucapkan sumpahnya sendiri. MPR hanya penonton. Padahal kata-kata di UUD itu jelas pasal 3, Melantik Presiden. Lho itu kata-kata tindakan aktif, melantik,” katanya.

Prof Jimly melanjutkan, bagaimana caranya MPR melantik Presiden itu? Menurut dia, ya Pimpinan MPR harus memandu pelantikan, seperti pelantikan pada umumnya.

Dia memberi contoh ketua MPR pertama menanyai Presiden, dan selanjutnya meminta Presiden mengikuti kata-kata pelantikan yang diucapkan ketua MPR.

“Saudara apa bersedia dilantik. Presiden harus menjawab bersedia. Kalau dia bersedia, ikuti kata-kata saya. Mesti begitu dong, biar gagah sedikit MPR itu.”

Dia menyarankan, sidang MPR 20 Oktober 2024 yang akan datang MPR harus melantik, MPR sebagai lembaga, sebagai subjek hukum melantik. Nah, melantiknya itu ya melantik. Bukan hanya membuat sidang, mempersilakan Presiden melantik dirinya sendiri, misalnya begitu.

Dus, untuk pelantikan Presiden, MPR harus melaksanakan amanat Pasal 3 (ayat 2) UUD 1945 tersebut, kalau tidak melaksanakan, artinya MPR melanggar konstitusi tersebut.

Mungkin ada pertanyaan, sekarang kan MPR bukan Lembaga tertinggi lagi, sehingga tidak berwenang melantik Presiden dengan menuntun pembacaan sumpah tersebut.

Bisa saja muncul pertanyaan seperti itu, tetapi toh dalam pelantikan DPR juga dipandu oleh Ketua MAhkamah Agung (MA) tanpa harus DPR berarti menjadi subordinasi dari Lembaga negara MA.

Lalu, apa bedanya kalau MPR tidak memandu pengucapan sumpah, dengan Presiden yang hanya mengucapkan sumpah sendiri. Ini, pertama, kalau MPR memandu berarti melaksanakan amanat UUD 1945 tersebut, dan tidak ada subordinasi.

Kedua, meneguhkan keberadaan MPR sesuai konstitusi. Sedangkan bila MPR tidak memandu, dan Presiden mengucapkan sendiri sumpahnya, ini seperti negara kerajaan, Presiden layaknya menobatkan diri sendiri seperti raja, karena raja adalah penguasa tertinggi.

Hal terakhir, mungkin kalau Pasal 3 ayat 2 tersebut dilaksanakan, mungkin ada beban psikologis dari Ketua MPR Ahmad Muzani yang notabene Sekjen Partai Gerindra, anak buah Prabowo Subianto. Muzani akan terasa segan melakukan itu, tapi demi konstitusi, dia harus melaksanakan. (*)

Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.

News Update