Di Indonesia sendiri terdapat tiga instrumen yang sudah jadi produk hukum. Yang pertama adalah Undang-Undang ITE.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Disebutkan bahwa dari 2013 sampai 2023, sudah ada 612 kasus terlapor karena UU ITE. Dan dalam 2 tahun belakangan ini sudah ada 219 kasus di era Jokowi.
“UU ITE uniknya ini revisi yang pertama nih pasal karet yang selama ini dikritik ternyata masih dipertahankan, bahkan proses revisinya juga tidak transparan,” terangnya.
Kemudian revisi kedua pada 2024 juga prosesnya dinilai masih tidak transparan. Dan pasal karetnya bertambah, ini karena adanya tambahan pasal baru yang dinilai salah kaprah.
Sebab dalam pasal tersebut, negara bisa memutus akses informasi yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
Perpres Nomor 32 tahun 2024
Produk hukum kedua ini mengontrol konten apa yang boleh dan tidak boleh ada di dalam platform digital, terutama konten-konten berita atau konten-konten jurnalisme.
Aturan ini mengacu ke undang-undang (UU) Pers. Jadi jika ada konten yang dianggap tidak sesuai dengan UU Pers, akan dihilangkan dari platform digital dan hanya bisa diakses dari situs perusahaan persnya.
“Jelas kebijakan berwatak sensor ya guys. Ya memang engak seekstrem zaman orba sih sensornya tapi tetap bertentangan sama semangat anti sensor UU pers,” terangnya.
Sebab, UU Pers sebenarnya memperbolehkan siapapun untuk menanggapi atau mengoreksi berita yang dianggap tidak sesuai.
Keputusan Menteri Kominfo Nomor 172 Tahun 2024