Kopi Pagi: Moralitas Cakada

Kamis 12 Sep 2024, 08:29 WIB
Kopi Pagi: Moralitas Cakada. (poskota)

Kopi Pagi: Moralitas Cakada. (poskota)

Menuntut pemahaman bagi politisi, pejabat publik dan semua calon pejabat publik bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis, masih perlu mengedepankan legitimasi moral.”

-Harmoko-

 

Dalam beberapa hari terakhir, publik dihebohkan dengan adanya satu bakal calon kepala daerah (cakada) yang berstatus sebagai tersangka korupsi sebagaimana dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Siapa cakada dimaksud, KPK belum menjelaskan secara rinci. Hanya dikatakan. KPK akan mengirim surat kepada KPU perihal status tersangka dimaksud. 

Yang oleh KPU pusat nantinya akan diteruskan kepada KPU daerah, di mana cakada akan ikut berkontestasi.

Kami menduga KPU tidak akan mengumumkan cakada yang tersangkut hukum.

Selain, bukan kapasitasnya untuk mengumumkan, kalau pun diumumkan ke publik juga tidak akan membatalkan pencalonan.

Bakal calon kepala daerah dibatalkan pencalonannya, jika kasusnya telah berkekuatan hukum tetap alias sudah berstatus sebagai terpidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Sepanjang masih berstatus sebagai tersangka, cakada yang bersangkutan masih memiliki hak untuk ikut berlaga dalam pilkada.

Ketentuan ini bersifat umum, tak hanya dalam pencalonan pilkada, pemilu, juga dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang lain,  mulai dari level terendah hingga paling tinggi seperti menteri.

Bahwa, kemudian ada menteri yang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, itu adalah kehendak pribadi yang bersangkutan sebagai bentuk rasa tanggung jawab sebagai pejabat publik. Selain, alasan menjaga netralitas dalam proses pengusutan lebih lanjut.

Ini soal moralitas sebagai pejabat publik, meski yang bersangkutan masih memiliki hak menjalankan tugasnya sebagai menteri, sebelum perkara disidangkan hingga ditetapkan bersalah menjalani hukuman.

Lantas bagaimana dengan bakal calon kepala daerah,jika nantinya diumumkan ke publik sebagai tersangka korupsi? Jawabnya akan beragam, tergantung dari sudut pandang.

Jika mengacu kepada peraturan tentang pilkada, nggak soal, meski sebagai tersangka korupsi, terus melaju mengikuti pesta demokrasi. KPU pun tak punya hak untuk membatalkan pencalonan.

Boleh jadi pihak yang dikenakan status tersangka merasa tidak bersalah. Yang bersangkutan berkeyakinan dapat membuktikan di sidang pengadilan bahwa dirinya tidak bersalah dengan sejumlah bukti yang dimiliki.

Keyakinan ni yang membuat dirinya terus melaju ikut kontestasi.

Lantas bagaimana dengan soal etika dan moralitas sebagai calon kepala daerah?

Jawabnya akan kembali kepada masing-masing individu.

Kita tahu, etika itu menyangkut hal baik dan buruk, pantas dan tidak pantas baik

dalam ucapan maupun perbuatan. Bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik dan buruk atau sering disebut berakhlak baik, mulia.

Menjadi renungan, apakah dengan status tersangka masih pantas untuk melanjutkan kontestasi menjadi kepala daerah. Apakah masih dianggap baik, tidak bertentangan dengan norma sosial, adat dan budaya setempat.

Bukankah kalau terus maju, cap sebagai tersangka akan terus melekat, bahkan bisa saja dijadikan isu oleh lawan politiknya untuk menurunkan elektabilitasnya selama masa kampanye.

Tetapi, lagi-lagi kembali kepada bakal calon kepala daerah yang bersangkutan, dan kepada masyarakat yang akan memilih calon pemimpinnya untuk lima tahun ke depan.

Apakah publik akan mengalihkan dukungan karena status tersangka, atau tetap percaya untuk terus mendukungnya. Ini soal kepercayaan, karena esensi kepemimpinan adalah kepercayaan.

Yang jelas etika dan moralitas belakangan acap mendapat sorotan, termasuk etika dan moralitas dalam praktik politik.

Mencuat harapan, para elite politik, pejabat dan kandidat pejabat mengedepankan etika dan nilai – nilai moral dalam beratraksi politik meraih kekuasaan jelang pilkada. Memberi teladan soal etik dan moral dalam kontestasi seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Ini menuntut pemahaman bagi politisi, pejabat publik dan semua calon pejabat publik yang hendak berlaga dalam pilkada bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis, masih perlu mengedepankan legitimasi moral. (Azisoko).

Berita Terkait
News Update