MENJELANG kontestasi Pilkada Serentak 2024 selalu saja ada kejutan yang digelontorkan oleh partai politik (parpol). Entah hanya sekadar gimik belaka, atau sesungguhnya demikian adanya.
Ya, ada kejutan datang dari kader PDIP yang melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait SK pengesahan kepengurusan DPP PDIP periode 2019-2024 yang diperpanjang hingga 2025.
SK tersebut dikeluarkan oleh Kemenkumham. SK dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly. Tidak lama setelah kader PDIP itu mengeluarkan SK lalu direshuffle. Yasonna digantikan dengan Supratman Andi Agtas, yang merupakan politikus Partai Gerindra
Kala itu, usai Yasonna direshuffle memantik reaksi keras dari PDIP. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful dan Wasekjen PDIP Adian Napitupulu mempertanyakan alasan pencopotan Yasonna. Mereka menduga Yasonna diganti lantaran memperpanjang kepengurusan DPP PDIP tanpa persetujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sementara pihak Jokowi tidak memberikan klarifikasi atas tudingan tersebut. Dengan demikian, seolah-olah membenarkan atas dugaan yang dilontarkan oleh petinggi PDIP tersebut. Justru, Partai Demokrat membela Jokowi 'mati-matian', yang menyebutkan keputusan itu adalah hak prerogatif seorang presiden.
Kembali ke soal gugatan kader PDIP. Gugatan itu diajukan oleh Pepen Noor, Ungut, Ahmad dan Endang Indra Saputra. Gugatan dilayangkan lantaran dianggap bertentangan dengan AD/ART PDIP. Sementara pihak PDIP menyatakan bahwa SK tersebut tidak melanggar AD/ART PDIP.
Jadi, benarkah gugatan tersebut hanya sekadar gimik belaka? Benarkah hanya untuk menciptakan citra politik yang terzalimi. Sehingga dengan citra itu 'sebagai korban' agar bisa mendongkrak elektoral calon kepada daerah (cakada) atau Pilkada di semua daerah di Indonesia.
Di sisi lain, juga diduga ada pesan hendak mengkambinghitamkan Istana bahwa ini bagian dari cawe-cawe untuk melemahkan partai politik berlogo kepala banteng moncong putih itu.
Namun, anehnya kenapa masalah tersebut tidak diselesaikan terlebih dahulu secara internal. Karena dalam sebuah organisasi, dalam aturannya setiap masalah terlebih dahulu diselesaikan secara internal. Baru kemudian, jika tidak ada titik temu maka baru mengajukan gugatan ke PTUN.
Namun, jika memang bukan gimik, berarti ada saluran komunikasi politik yang mandek antara kader dengan ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Jika kondisi ini dibiarkan maka akan menjadi masalah yang serius bagi PDIP ke depannya.
Artinya, ada faksi di internal PDIP. Dan juga, terkait gugatan pengesahan kepengurusan baru tersebut menunjukkan ada pihak-pihak yang tidak menginginkan lagi jika ketum PDIP dipimpin oleh Megawati.