Pelajaran dari Kegagalan Anies Maju Cagub

Senin 02 Sep 2024, 08:04 WIB
Potret Anies Baswedan. (YouTube/Anies Baswedan)

Potret Anies Baswedan. (YouTube/Anies Baswedan)

TUTUP buku sudah langkah Anies Baswedan untuk maju menjadi cagub (calon gubernur) setelah PDIP batal mengajukan dirinya dan kemudian mencalonkan Pramono Anung, tokoh internal partai banteng dan juga sosok yang dekat dengan Presiden Jokowi, karena dia menjabat sebagai Sekretaris Kabinet.

Dari perjalanan kegagalan Anies maju menjadi cagub tersebut menorehkan sejumlah pelajaran politik bagi warga DKI dan Indonesia umumnya.

Pertama, yang perlu dicatat, Anies merupakan sosok individu yang bukan kader parpol. Dari hal ini menunjukkan meski berdiri sebagai individual, dia mampu menjadi sosok yang bisa laku dan memiliki elektabilitas tinggi, bahkan mengalahkan calon pemimpin dari parpol.

Kedua, hal itu sekaligus menegaskan bahwa pengkaderan di parpol belum berhasil menorehkan bibit pemimpin yang unggul dalam hal elektabilitas. Semua masih kalah dari Anies Baswedan.

Ketiga, pencalonan cagub sebenarnya bisa diambil dari jalur individu dan jalur parpol. Dari kejadian itu, orang seperti Anies sudah selayaknya sebelum menerima tawaran dari parpol, lebih dulu mengadakan penggalangan lewat jalur individu atau perseorangan, seperti dulu pernah ditempuh oleh Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dengan Sahabat Ahok.

Keempat, hadirnya Anies ingin maju jadi cagub di tengah suasana politik yang sangat dinamis, yang kemudian muncul KIM Plus, koalisi mayoritas parpol, tinggal menyisakan PDIP. Dengan aturan yang lama, PDIP hampir tidak bisa mengusung calonnya di DKI Jakarta, karena tak cukup kursi 20 persen.

Beruntung ada Putusan MK pada 20 Agustus, yang menyatakan, ambang batas parpol sesuai batas minimum calon perseorangan, yakni untuk DKI Jakarta 7,5 persen.

Sedangkan batas usia calon 30 tahun terhitung saat penetapan calon gubernur atau wagub. Kedua hal itu berimplikasi, peluang PDIP terbuka lagi, dan di sisi lain membuat peluang Kaesang Pangarep, anak Jokowi, tertutup.

Namun, peluang PDIP itu hampir tertutup lagi kala Baleg DPR merevisi UU Pilkada dengan mengembalikan ambang batas 20 persen kursi DPRD, ambang batas 7,5 persen hanya untuk parpol di luar parlemen (tak punya kursi di DPRD).

Sedangkan peluang Kaesang terbuka kembali, karena Baleg mengadopsi putusan MA batas umur 30 tahun saat pelantikan.

Namun, hal itu semua berubah lagi kala Wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan rapat paripurna DPI tidak jadi digelar karena tidak kuorum untuk pengambilan persetujuan RUU Pilkada itu.

Semua kembali ke putusan MK. Dan Anies mulai intens mengadakan pembicaraan dengan PDIP, dan bahkan saat pertemuan dengan DPD PDIP Jakarta, sudah pada optimis dicalonkan PDIP.

Tapi Apa gerangan, putusan di tengah Ketum PDIP Megawati, dan ternyata yang di tunjuk adalah Pramono Anung sebagai cagub berpasangan dengan Si Doel Rano Karno. Anies gagal maju jadi cagub DKI Jakarta.

Konon, dinamika di PDIP sendiri ada pro kontra soal Anies, dan Megawati mengambil jalan tengah, menunjuk Pramono, meski dinilai ini bukan pilihan untuk menang, tapi hanya demi keutuhan parpol.

Pun pula disebut-sebut, ada campur tangan Istana dan oligarki, untuk menghadang Anies.

Kelima, dari dinamika politik ini, maka menghadirkan pelajaran, yakni untuk maju jadi cagub sangat tergantung dari dinamika politik yang ada, terlebih kalau ada cawe-cawe penguasa.

Keenam, dari hal terakhir itu, kemudian memunculkan pemikiran bahwa orang di luar parpol akan sulit untuk bisa maju, kalau tidak punya modal dukungan kekuasaan dan modal logistik yang besar.

Anies disebut-sebut ditolak kalangan oligarki karena pernah membatalkan reklamasi pantai Jakarta yang notabene proyek oligarki disebut-sebut dikuasai kelompok Sembilan Naga.

Ketujuh, dengan berbagai hal tersebut, maka bagi orang kuat sekaliber Anies, yang masih punya jalan cukup panjang, akan lebih baik membentuk parpol.

Dan Anies sudah memikirkan itu, saat-saat sekarang ini persiapan sudah dimulai, harus dengan langkah cepat guna memanfaatkan momentum. (**)

News Update