Kopi Pagi: Raja Jawa, Tahta Untuk Rakyat (2/selesai)

Kamis 29 Agu 2024, 08:27 WIB
Kopi Pagi: Raja Jawa, Tahta Untuk Rakyat (2/selesai)

Kopi Pagi: Raja Jawa, Tahta Untuk Rakyat (2/selesai)

Pengantar: Melalui kolom ini (Senin dan Kamis) saya sajikan dua tulisan soal sosok “Raja Jawa “ yang sesungguhnya. Tulisan bukan untuk menambah tafsir politik terkait istilah “Raja Jawa” yang lagi viral belakangan ini. Tetapi menilik kepada catatan sejarah mengenai karakteristik dan kepemimpinan raja di tanah Jawa. (Azisoko).

Banyak cerita rakyat mengenai sosok Sri Sultan HB IX yang tidak saja bersahaja dan merakyat, juga tidak pernah menonjolkan diri bahwa dirinya adalah seorang raja ketika hadir di tengah-tengah masyarakat.

Tak jarang mengenakan busana abdi dalem atau berpakaian ala kadarnya ketika bepergian selalu mengendarai  sendiri mobilnya, tanpa sopir dan pengawalan, meski sederet jabatan melekat pada dirinya.

Tidak hanya sebagai Raja Jawa, juga Menteri Pertahanan dan Menteri Senior, era pasca kemerdekaan.

Suatu hari, kala menjalankan tugas sebagai Menteri Pertahanan, ditilang ketika mengendarai sendiri kendaraannya.

Apa yang terjadi? Beliau pun patuh dan bersedia ditilang, bukan memanfaatkan jabatannya dengan menolak ditilang.

Masyarakat Yogyakarta sampai hari ini masih mengenang sosok Ngarso Dalem sebagai pemimpin yang rendah hati.

Ada sebuah kisah pada tahun 1946, saat mengemudi Jeep, sepulang dari Kinahrejo, dusun Mbah Maridjan juru kunci Merapi, di pinggir Jalan Kaliurang, tiba-tiba dihentikan ibu-ibu dengan sejumlah karung beras dagangannya yang hendak menuju Pasar Kranggan, utara Tugu.

Sri Sultan membantu mengangkat karung-karung beras ke mobilnya dan menurunkannya sesampai di pasar, kemudian pamit.

Wanita pedagang itu ‘ngedumel’ menyebutnya “sopir” yang aneh. Sudah mengantar, menaikkan dan menurunkan barang ketika mau dibayar malah pergi.

Di lain kesempatan, di hadapan seorang wanita penjual beras, Sri Sultan berhenti dan berjongkok sambil memegang butiran-butiran beras, bertanya,

“Niki disade pinten Mbakyu Selitere?,” ucap Sri Sultan menanyakan harga beras seliter.

Masih banyak cerita lain tentang keteladanan Raja Jawa yang tiada habis-habisnya. Bagaimana kepemimpinan Raja Jawa sesungguhnya yang bisa menjadi rujukan bagi para elite dan tokoh bangsa era kini yang tengah berkuasa.

Menilik ke belakang, kita kenal Sultan Agung (1613-1645) sebagai raja yang memberi keteladanan bagaimana menjadi pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Bukan pemimpin yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaan dan jabatannya.

Menjadi pemimpin harus memberikan teladan kebaikan, bukan keburukan, apalagi bertindak sewenang – wenang kepada rakyatnya. 

Dalam Serat Sastra Gendhing, disebutkan falsafah kepemimpinan Sultan Agung memuat 7 amanah.

Satu di antaranya adalah bahni bahna amurbeng jurit - bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran.

Itulah beberapa catatan mengenai keteladanan Raja Jawa. Masih banyak keteladanan lain yang bisa diaktualisasikan oleh pemimpin di era kapan pun oleh siapa pun.

Jika disarikan, Raja Jawa adalah pemimpin yang memiliki karakter dengan memberikan keteladanan, utamanya adalah integritas (padunya kata dengan perbuatan). Selain rendah hati, pinter (ora mung bisa minterilan ngakali), jujur dan adil.

Karakter pemimpin seperti inilah yang akan langgeng, senantiasa dipercaya dan dicintai rakyatnya.

Raja Jawa senantiasa dicintai dan dipercaya rakyatnya, dikenang sepanjang hayatnya, hingga saat ini, karena ketika berkuasa mampu mengemban amanat rakyat, di mana tahtanya hanya untuk rakyat, bukan untuk dirinya, keluarganya dan kerabat dekatnya.

Pemimpin yang tidak jujur, tidak adil dan haus kekuasaan, dapat berakibat buruk.

Dalam peribahasa Jawa disebutkan “denta denti kusuma warsa sarira cakra” yang menggambarkan hakikat keadilan menurut pandangan orang Jawa.

Maknanya, yang benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Kesewenang-wenangan kekuasaan, kejahatan bisa saja direkayasa menjadi kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Saatnya akan terungkap juga, akan tampak dalam wujud aslinya, ini pertanda sebuah keruntuhan.

Kita dapat berkaca pada sejarah dunia, di antaranya Raja Louis XVI dan permaisuri, Marie Antoinette, berakhir tragis pada revolusi Perancis.

Ketidakpuasan rakyat atas kondisi kerajaan membuat mereka diturunkan paksa, dieksekusi oleh rakyatnya.

Kisah dari belahan dunia ini bisa dijadikan pengingat akan konsekuensi tragis ketika kekuasaan gagal memahami dan merespons kehendak dan kebutuhan rakyat.

Pengingat bagi kita semua, siapapun elite yang berkuasa di negeri kita. Bila ada “Raja Jawa” yang tidak semestinya, tidak menjadikan tahtanya untuk rakyat, boleh jadi, kisahnya akan tragis seperti Louis XVI. (Azisoko).

News Update