Kopi Pagi: Raja Jawa, Tahta Untuk Rakyat (1)

Senin 26 Agu 2024, 08:27 WIB
Kopi Pagi: Raja Jawa, Tahta Untuk Rakyat (1)

Kopi Pagi: Raja Jawa, Tahta Untuk Rakyat (1)

Pengantar: Melalui kolom ini (Senin dan Kamis) akan saya sajikan dua tulisan soal sosok “Raja Jawa “ yang sesungguhnya. Tulisan bukan untuk menambah tafsir politik terkait istilah “Raja Jawa” yang lagi viral belakangan ini. Tetapi menilik kepada catatan sejarah mengenai karakteristik dan kepemimpinan raja di tanah Jawa. (Azisoko).

Istilah “Raja Jawa” mendadak viral dan menjadi perbincangan publik. Beragam tafsir bermunculan merespons cukilan pernyataan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, Bahlil Lahadalia soal sosok “Raja Jawa”. Intinya agar tidak main-main dengan “Raja Jawa” karena bisa celaka kita.

Tanpa bermaksud  menyinggung siapa sosok “ Raja Jawa” dimaksud, tidak pula menambah tafsir politik lebih jauh lagi, melalui kolom ini, saya hanya ingin kembali menilik sejarah, bagaimana sejatinya Raja Jawa.

Bagaimana pola kepemimpinannya, perilakunya, karakternya sebagai raja yang sesungguhnya kepada rakyatnya.

Sejumlah sumber menyebutkan, banyak kerajaan yang tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa mulai dari yang tertua Kerajaan Kalingga di pesisir utara pada abad ke-7, raja terakhir bernama Ratu Shima (674-695).

Berikutnya berdiri Kerajaan Medang (716-1006), Kahuripan (1019-1043) dengan Raja Airlangga. Kemudian Jenggala,Panjalu, Singasari, Majapahit dengan masa keemasan saat kekuasaan dipegang Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada (1350- 1389).

Ada juga Kesultanan Demak, Kasunanan Giri, Kerajaan Kalinyamat, Kesultanan Pajang dan terakhir Kesultanan Mataram yang melalui perjanjian

Giyanti dan perjanjian Salatiga, kemudian Mataram terbagi menjadi tiga kekuasaan, terbentuklah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan kepala pemerintahan yang disebut Sri Susuhunan Pakubuwana dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Sri Sultan Hamengkubuwono.

Ada juga Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta.

Kerajaan yang masih eksis dan punya fungsi pemerintahan hingga saat ini adalah Kasultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengkubuwono X, dengan nama kecil Raden Mas Herjuno Darpito, sebagai Gubernur Yogyakarta saat ini.

Dari 38 provinsi di Indonesia, hanya Yogyakarta sebagai satu-satunya provinsi yang tidak menggelar pilkada karena keistimewaannya sebagaimana tertuang dalam UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta (DIY).

Keistimewaan tersebut, di antaranya pengangkatan gubernur dan wakil gubernur tidak dipilih melalui pemilihan umum, tetapi melalui proses pengukuhan.

Mengacu kepada realitas tersebut, bicara Raja Jawa berarti tak bisa lepas dari histori para raja di Jawa, tak terkecuali para sultan, di antaranya Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Raja yang memerintah, baik saat masa penjajahan hingga Indonesia menjadi Republik ini, patut menjadi rujukan bagaimana karakter Raja Jawa yang sesungguhnya.

Singgasana yang diperolehnya bukan semata untuk dirinya karena trah dan keturunan raja. Kekuasaan yang didapatkan bukan untuk kepentingan dirinya dan keluarganya, tetapi semata untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Dengan kewenangan yang begitu tinggi, bukan lantas seenaknya menggunakannya untuk memperbesar pundi-pundi kekuasaan, memperlebar sayap kekuasaan dengan membangun kerajaan-kerajaan kecil di wilayahnya.

Meski seorang raja, bukan lantas memerintahkan sekehendaknya, dapat merekayasa segalanya. Walaupun dikenal istilah “Sabdo Pandito Ratu”, Sri Sultan HB IX, dikenal taat asas, norma dan menjunjung tinggi etika dan budaya bangsa.

Yang terjadi justru sebaliknya, tahta sebagai raja dipersembahkan untuk rakyat. Itulah yang kemudian kesohor dengan istilah “Tahta Untuk Rakyat”.

Begitu juga harta dan kekayaan kerajaan, segala fasilitas keraton dipergunakan untuk membantu perjuangan dan kepentingan rakyat.

Catatan sejarah menyebutkan, Sri Sultan HB IX itulah yang menanggung seluruh biaya pemerintahan, termasuk gaji kabinetnya, operasional TNI dan pengiriman-pengiriman delegasi Indonesia ke konferensi internasional, ketika ibu kota Republik Indonesia berpindah ke Yogyakarta tahun 1946.

Dananya cukup besar, besar, Mohammad Hatta, memperkirakan lebih 5 juta gulden seperti dilansir dalam buku “Tahta Untuk Rakyat”, buku biografi Sri Sultan HB IX yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis dkk dan disunting oleh Atmakusumah.

Sri Sultan yang tidak mau mengakui berapa biaya yang dikeluarkan, menunjukkan sikap yang tidak mau menonjolkan diri atas peran yang dilakukan.

Bantuan tanpa pamrih bukan hanya kali itu diberikan. Ketika Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran dan staf kabinet RI kembali pindah ke Jakarta pada 1949, Sultan HB  IX memberikan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta yang diharapkan bisa dijadikan modal membangun republik yang masih bayi tersebut.

Jutaan gulden saat itu, tentu beda dengan nilai nominal sekarang, lebih-lebih nilai manfaatnya bagi perjuangan rakyat.

Ini baru sebagian kecil soal keteladanan Sri Sultan HB IX, yang diakui publik sebagai Raja Jawa yang bersahaja dan merakyat.

Masih banyak cerita rakyat mengenai bagaimana kepemimpinan Raja Jawa sesungguhnya yang bisa menjadi rujukan bagi para elite dan tokoh bangsa era kini.

Ikuti kisahnya pada kolom ini, Kamis, 29 Agustus 2024. (Azisoko)

News Update