“Lupakan kesalahannya, kenang kebaikannya sepanjang masa, sekecil apa pun kebaikan yang telah dilakukan. Itulah makna saling memaafkan..”
-Harmoko-
Dalam kehidupan bermasyarakat, saling memaafkan adalah awal dari adanya sifat kekeluargaan sebagaimana cerminan butir-butir falsafah bangsa kita.
Saling memaafkan adalah ajakan untuk membangun kerekatan sosial, guyub rukun, serta memantapkan solidaritas sosial, di tengah keberagaman.
Bukan sebaliknya mencari-cari kesalahan orang yang dapat memicu perselisihan. Lebih-lebih di era kehidupan sekarang ini yang diwarnai dengan dinamika politik yang cukup tinggi jelang pemilihan kepala daerah, sekaligus menyongsong pemerintahan baru hasil pilpres lalu.
Yang hendak kami sampaikan, saling memaafkan adalah ajaran kebajikan, sementara saling menyalahkan dan mencoba mencari-cari kesalahan hanya akan menggali lubang dendam dan permusuhan.
Sejatinya segala persoalan bisa diawali penyelesaiannya dengan kata maaf dan saling memaafkan. Mulai dari lingkup terkecil di lingkungan keluarga, RT/RW, kelurahan, kantor pemda hingga istana.
Di sisi lain, kata maaf bukan sebatas ucapan lisan, tetapi mencerminkan sikap dan perilaku rendah hati dan kebesaran jiwa. Di dalamnya terdapat ketulusan dan keikhlasan.
Itulah indahnya kata maaf.
Akan lebih indah lagi, jika terdapat ketulusan untuk saling memaafkan. Bahkan, ada anjuran lebih dulu memberi maaf sebelum orang lain meminta maaf.
Mahatma Gandhi mengatakan: Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi maaf yang tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh.
Memaafkan berarti melupakan setiap kesalahan yang diperbuat orang lain. Kadang kita lupa dengan kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahan.
Seakan satu kesalahan itu menghapus samudera kebaikan yang pernah dilakukan. Padahal kebaikan tetaplah kebaikan.
Dalam pepatah Jawa juga sering diajarkan “Yen siro dibeciki liyan iku tulisening watu,supoyo ora ilang lan tansah kelingan” (jika kamu menerima kebaikan dari orang lain tulislah di batu,supaya tidak pernah hilang dari ingatan).
Sebaliknya.”Yen siro gawe kabecikan marang liyan iku tulisen ing lemah supoyo enggal ilang lan ora kelingan” (jika kamu berbuat baik kepada orang lain tulislah di tanah supaya lekas ilang dari ingatan).
Filosofi tersebut mengajarkan kepada kita agar selalu mengingat kebaikan orang, sekecil apapun kebaikan itu dilakukan. Sebaliknya jika kita berbuat baik, segera lupakanlah.
Ajaran ini sesuai dengan nilai dan budaya bangsa kita sebagaimana yang terkandung dalam butir- butir Pancasila, khususnya sila ke-2 Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Yang tidak kalah pentingnya, memberi maaf bukan sebatas retorika, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan aksi nyata.
Begitu halnya bagi yang meminta maaf karena pada kata maaf terdapat janji untuk memperbaiki diri. Janji untuk berbuat lebih baik lagi dan tidak mengulangi kesalahan.
Seperti diajarkan para leluhur, memperbaiki adalah upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, apalagi sama persis. Ini tidak saja dalam ucapan, ungkapan, dan tulisan. Tetapi yang lebih utama sikap nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Di era kini, di masa transisi, cermin saling memaafkan di antara elit politik dan para pendukung dan simpatisannya sudah tidak diragukan lagi. Ini ditandai dengan situasi yang kian kondusif.
Saling memaafkan, gambaran adanya saling asah, asih dan asuh di antara kita sesama manusia sebagaimana diajarkan dalam pedoman hidup bangsa kita.
Saling memaafkan bukti adanya sikap saling menghargai dan menghormati, termasuk, menghargai peran masing-masing.
Sebab, apapun status, kedudukan dan latar belakang, termasuk latar belakang politiknya, setiap warga memiliki peran. Sekecil apapun, mereka telah memiliki sumbangsih kepada negeri.
Jangan berpandangan sebaliknya, melihat hanya dari satu sisi. Keburukan atau kesalahannya. Hanya karena tidak sepaham, tak sejalan, dan bukan sealiran.
Atau hanya karena pernah berseberangan dalam sesuatu urusan. Satu hal lagi, saling memaafkan tak harus dengan ucapan, lisan atau tersurat.
Tetapi yang lebih utama adalah tindakan nyata sebagai cermin kebesaran jiwa dalam menyikapi keputusan, kebijakan ataupun keadaan.
Ini lebih riil sebagai bukti keikhlasan jiwa, ketimbang komentar yang tak diikuti dengan perbuatan seperti sering dikatakan dengan istilah “perbuatan tidak sesuai dengan ucapan” atau “ucapan tidak sepadan dengan perbuatan”.
Lupakan kesalahannya, kenang kebaikannya sepanjang masa, sekecil apapun kebaikan yang telah dilakukan. Itulah makna saling memaafkan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. (Azisoko).