Sering dikatakan politik tanpa gimmick (gimik) kurang menarik. Cukup beralasan karena gimik itu sendiri berarti suatu (alat atau trik) yang digunakan untuk menarik perhatian. Meski sesuatu dimaksud tidak serius atau bernilai nyata adanya.
Menyongsong gelaran pilkada, gimik politik acap dimunculkan sejumlah elite politik atau petinggi parpol dengan menyebut sosok yang selama ini berseberangan, rival politik, tiba –tiba akan diusung sebagai calon kepala daerah (cakada).
Apakah pernyataan petinggi PDIP yang mendukung pencalonan Anies Baswedan sebagai bakal calon Gubernur Jakarta atau mempertimbangkan nama Kaesang Pangarep pada pilgub Jawa Tengah, dapat ditafsirkan sebagai gimik politik?
Jawabnya tentu akan beragam sesuai sudut pandangnya, analisisnya atas tafsir politik itu sendiri. Yang pasti, gimik itu bukan hal yang baru dan tabu dalam bisnis, seni peran, fashion, termasuk dalam dunia politik.
Dalam dunia bisnis untuk menarik minat masyarakat agar mau membeli produknya. Pada fashion agar orang menirunya, mengikuti jejaknya.
Dalam dunia politik bertujuan untuk menarik perhatian publik guna meraih simpati agar nantinya mendukungnya. Gimik politik pun bentuknya sangat beragam tak sebatas pernyataan, atraksi politik hingga fashion dari sang tokoh pun dilakukan.
Bahkan, gestur tubuh bisa dijadikan gimik. Fashion ala anak muda, bahasa gaul, misalnya guna menarik perhatian kaum milenial dan masih banyak lagi.
Atraksi politik jelang pilkada, di antaranya dengan memberikan dukungan kepada tokoh tertentu. Boleh jadi akan menuai kontroversi, tetapi itulah cara menarik perhatian.
Yang patut dicatat, gimik hendaknya memberikan dampak positif, memberi nilai tambah bukan hanya kepada dirinya, kelompoknya, partainya, juga partisipannya.
Lebih luas lagi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun tidak memberi nilai tambah kepada lingkungan, gimik politik tidak juga dilarang, toh yang mengambil manfaat baik dan buruknya adalah si pencipta gimik.
Yang tidak boleh dilakukan adalah memproduksi intrik untuk menjatuhkan lawan dengan menghalalkan segala cara, demi meraih kemenangan dalam pilkada.
Kompetisi menjadi tidak sehat, jika sudah mulai menebarkan intrik politik dengan menyebarkan kabar bohong, menebar kebencian dan keburukan untuk menjatuhkan lawan.
Karenanya, menciptakan gimik politik boleh saja, tetapi memproduksi intrik politik, hendaknya ditinggalkan. (*)