KITA tentunya sepaham bahwa pendidikan politik tak melulu soal pemilu, pileg, pilpres dan pilkada. Tidak pula hanya soal sendi-sendi demokrasi dan kekuasaan, tetapi yang tak kalah pentingnya, yakni nilai etik dan moral dalam berdemokrasi.
Etik dan moral merupakan dua hal yang saling terkait. Etik adalah nilai yang berkenaan dengan akhlak, mengenai benar dan salah. Sementara moral ajaran baik dan buruk. Bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk, berakhlak baik sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
“Intinya etik dan moral itu mengajarkan kepada kita soal baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan tidak benar, soal kesantunan,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, Mas Bro dan Yudi.
“Etik dan moral, belakangan acap dibahas, utamanya terkait etik dan moral dalam berpolitik. Mencuat penilaian etika berpolitik mulai pudar. Makanya perlu diaktualisasikan kembali,” timpal Yudi.
“Terus siapa mengaktualisasikan?” tanya Heri.
“Ya mereka yang bergelut dalam dunia politik, utamanya para elite,” jawab Yudi.
“Para tokoh bangsa, termasuk para calon pemimpin bangsa yang harus tampil di depan meneladani rakyat agar senantiasa mengedepankan etik dan moral dalam berpolitik,” tambah Mas Bro.
“Gelaran pilkada serentak bisa menjadi momen bagaimana kandidat calon kepala daerah (cakada) tampil di depan menggelorakan politik santun dan penuh etika dalam meraih tujuan,” ujar Yudi.
“Boleh jadi tokoh yang santun dan beretika dalam melakukan manuver politik, akan mendapat simpati masyarakat,” ujar Mas Bro.
“Awalnya simpati, lama-lama bisa jatuh hati. Jika sudah jatuh cinta, pada pilkada nanti akan mencoblosnya,” kata Heri.
“Apalagi selain santun dan beretika, kandidat yang bersangkutan berpenampilan low profile (rendah hati), tidak arogan, meski memiliki kecerdasan intelektual, makin banyak orang menaruh simpati,” kata Yudi.