Kopi Pagi Harmoko: Maju Pilkada Tanpa Menyingkirkan

Senin 03 Jun 2024, 06:25 WIB

“Berburu jabatan dan kekuasaan sah – sah saja, tanpa ada larangan. Yang tidak dibenarkan jika dilakukan dengan kecurangan, menabrak aturan serta memaksakan kehendak dengan menghalalkan segala cara..”

-Harmoko-
 
BELAKANGAN ini, setiap parpol tengah fokus menjaring kandidat calon kepala daerah (cakada), baik dari kader internal maupun eksternal untuk maju pada pilkada serentak 27 November 2024. Sejumlah figur telah terseleksi masuk dalam bursa cakada oleh masing-masing parpol, dan sudah digulirkan untuk mendapat respons publik. 

Hasilnya akan diuji, positif apa negatif. Banyak mendapat dukungan atau minim dukungan. Jika resistensi cukup tinggi, boleh jadi akan dimunculkan figur lain. Tahapan semacam ini masih dalam kerangka strategi politik yang disebut tests the water (cek ombak), mengetes psikologi dan reaksi publik tentang siapa yang layak diterima menjadi cakada.

Dalam cek ombak tadi, terdapat fenomena baru sejumlah parpol dengan menampilkan figur anak muda. Selain, tokoh senior yang memiliki elektabilitas cukup tinggi sebagai calon gubernur, misalnya untuk pilgub Jakarta.

Sudah beredar di ruang publik, sejumlah nama mantan gubernur menempati peringkat atas hasil survei cagub di Jakarta. Maknanya, popularitas masih teratas.

Lantas bagaimana dengan didorongnya anak muda untuk ikut kontestasi dalam pilgub Jakarta? Jawabnya akan beragam. Tetapi dari sisi popularitas, beberapa nama yang ditampilkan, tak kalah menariknya.

Publik mengenalnya, menyukainya, boleh jadi akan mendukungnya karena daya pikat yang luar biasa. Jika kemudian mencuat keraguan mengenai kualitas, dapat dipahami, mengingat figur yang bersangkutan dinilai minim pengalaman baik di bidang politik
maupun kenegaraan.

Namun patut dicatat, tak sedikit pula figur muda yang memenangkan kontestasi pilkada karena basis dukungan popularitas, dinilai sukses memimpin daerahnya, sehingga diusung kembali pada pilkada berikutnya.

Mencermati konstelasi yang demikian, akankah pada pilkada Jakarta dan sejumlah daerah lainnya, akan memadukan tokoh senior dengan yunior (anak muda) seperti halnya pada pilpres lalu? Jawabnya tentu akan kembali kepada partai politik yang memiliki kewenangan
untuk mengusung pasangan cakada.

Hanya saja, kewenangan setiap parpol menjadi tidak mutlak, mengingat pada hampir semua daerah harus dibangun koalisi untuk memajukan pasangan cakada. Disinilah akan terjadi negosiasi politik karena anggota koalisi tentu memiliki kepentingan pada daerah dimaksud.

Bagi koalisi yang masih solid, sebut saja Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang sukses mengantarkan pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024, boleh jadi akan meneruskan koalisinya, acap disebut koalisi permanen pada momen pilkada.

Meski ini pun belum menjadi jaminan, tetapi lebih mudah ketimbang membentuk koalisi baru yang sebelumnya sempat berseberangan. Parpol dengan perolehan kursi terbanyak di daerah, mungkin saja perlu menyelaraskan kepentingannya dengan kekuatan koalisi yang sudah solid dan telah memenuhi syarat mengusung pasangan cakada.

Namun, rakyat berharap apa pun kepentingan politik yang menyertainya, kepentingan rakyat adalah segalanya. Itulah makna demokrasi yang sesungguhnya, menyerap kehendak publik, bukan maunya segelintir elite politik.

Setiap parpol bebas menentukan calonnya, begitu pun siapa saja boleh mengikuti kontestasi pilkada sepanjang memenuhi persyaratan dan ketentuan. Yang tidak dibolehkan adalah meminta jabatan secara paksa, lewat keluarga,kolega dan main sogok segala.

Berburu jabatan dan kekuasaan sah-sah saja, tanpa ada larangan. Yang tidak dibenarkan jika dilakukan dengan kecurangan, menabrak aturan serta memaksakan kehendak dengan menghalalkan segala cara. Ini tak sesuai alam demokrasi kita, tak selaras dengan falsafah hidup bangsa kita, Pancasila, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom ”Kopi Pagi” di media ini..

Kalau pun harus berkompetisi, bukan dengan saling menjatuhkan, tetapi lebih kepada mengembangkan kreasi dan inovasi untuk meningkatkan kualitas diri. Tak hanya skill dan keahlian, juga kian menguatkan jati dirinya sebagai anak negeri yang profesional dan memiliki integritas moral.

Itulah sebabnya, syarat kepemimpinan tak hanya merujuk kepada elektabilitas dan popularitas. Tidak cukup dengan kapabilitas, kredibilitas, akseptabilitas dan akuntabilitas, tak kalah pentingnya adalah integritas.

Mari kita songsong pilkada serentak dengan suka cita. Tanpa mengemas kebencian dan saling menjatuhkan dalam memilih 37 gubernur/wakil gubernur, 415 bupati/ wakil bupati serta 93 wali kota/wakil wali kota. 

Ada pesan moral, ” Maju pilkada tanpa menyingkirkan, naik tahta tanpa menjatuhkan. Menjadi baik, tanpa menjelekkan. Benar, tanpa menyalahkan orang lain.” (Azisoko)

Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG DI SINI


 

Berita Terkait

Kopi Pagi Harmoko: Indahnya Berbagi

Kamis 20 Jun 2024, 06:44 WIB
undefined

Kopi Pagi Harmoko: Dicari Sosok Peduli

Senin 24 Jun 2024, 07:55 WIB
undefined
News Update