PROGRAM Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diperbaharui pemerintah menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Ada yang menyambut dengan positif dan dan menolak keras.
Program tersebut rencananya akan diberlakukan pada 2027 mendatang. Dalam program ini, gaji peserta akan dipotong sebesar 2,5 persen setiap bulannya. Tapera ini berlaku wajib bagi PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, BUMN, swasta, hingga pekerja.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Sebenarnya penarikan iuran Tapera secara wajib bagi PNS/ASN sudah diterapkan sejak Januari 2021 silam. Selanjutnya, program ini akan diberlakukan secara bertahap mulai dari pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, TNI/Polri, hingga karyawan swasta, baik yang bekerja sendiri maupun pemberi kerja.
Namun, di tengah kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, dan kenaikan upah minimum tahunan yang tidak sebanding tentu saja kebijakan tersebut menuai polemik di masyarakat. Terlebih, di media sosial ramai warganet mengkritisi kebijakan tersebut. Pasalnya, dianggap memberatkan rakyat.
Merespons polemik di masyarakat, BP Tapera menjelaskan jika program iuran Tapera ditujukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog. Ia menekankan, iuran Tapera prinsipnya gotong-royong sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Pertanyaannya, benarkah iuran Tapera nantinya akan membantu masyarakat yang belum memiliki rumah? Eks Menko Polhukam Mahfud MD pun ikut angkat suara mengkritisi kebijakan tersebut. Dia menilai, secara hitungan matematis tidak masuk akal.
Mahfud MD mencontohkan, seseorang yang mendapat gaji Rp5 juta per bulan. Jika mereka menabung 30 tahun dengan potongan sekitar 3% per bulan, maka nilainya hanya akan sekitar Rp100 juta. Artinya, sangat tidak masuk akal rakyat akan mendapatkan rumah dengan harga sedemikian murah.
Di sisi lain, kebijakan ini terkesan dipaksakan. Karena pihak terkait tidak dilibatkan, seperti serikat buruh dan pengusaha. Maka, serikat buruh dan pengusaha menolak kebijakan tersebut. Serikat buruh mengancam akan melayangkan judicial review ke Mahkamah Agung jika tak kunjung direvisi.
Sehingga, pemerintah harus mengkaji lebih dalam lagi atas kebijakan baru tersebut. Pemerintah jangan sekadar jadi tukang kutip uang rakyat. Terlebih, berkaca pada kasus seperti ASABRI, Taspen, dan Jiwasraya.
Ada baiknya, pemerintah mencontoh di banyak negara. Di mana, membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, dan selanjutnya memikirkan pembiayaan yang tepat. (*)