Jadi Saksi di Kasus Korupsi LNG Eks Dirut Pertamina, JK Sebut Pemerintah Hanya Urusi Kebijakan

Jumat 17 Mei 2024, 09:42 WIB
Teks Foto: Jusuf Kalla. (ist)

Teks Foto: Jusuf Kalla. (ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) menegaskan, pihaknya hanya mengurusi sebuah kebijakan bukan mengurusi hal-hal yang sifatnya teknis seperti pengadaan atau pembelian gas.

"Sekali lagi, pemerintah, presiden hanya mengatur kebijakan," kata JK di sidang Tipikor Jakarta Pusat saat dihadirkan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) dengan terdakwa Galaila Karen Agustiawan, Kamis, 16 Mei 2024.

Menurut JK, urusan teknis pembelian LNG dan komoditas sepenuhnya diatur dan diurusi Pertamina sebagai BUMN yang bergerak di bidang energi. "Teknisnya oleh Pertamina. Jadi, presiden tidak sampai bahwa bicara begini, beli di sini, tidak," ujar JK.

Pada kesempatan itu, JK menyebut dirinya bingung karena Karen dijadikan sebagai terdakwa. Padahal, Karen sebagai Dirut Pertamina pada waktu itu hanya menjalankan instruksi presiden berdasarkan Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No 1 tahun 2010 dan 2014. 

"Saya juga bingung, kenapa jadi terdakwa (Karen). Bingung karena dia menjalankan tugasnya. Instruksinya harus penuhi. Saya ikut membahas ini karena kebetulan saya masih di pemerintahan waktu itu," kata JK.

Atas pernyataan JK tersebut, majelis hakim mempertanyakan kebijakan pengadaan LNG itu, serta mempertanyakan apakah Pertamina merugi atau untung. 

"Tidak-tidak. Tapi begini boleh saya tambahkan, kalau suatu langkah bisnis merugi, cuma dua kemungkinannya, untung atau rugi," terang JK.

Jika semua perusahaan BUMN merugi dalam mengambil kebijakan bisnis, lanjut JK, dinilai berbahaya karena para petinggi BUMN akan terjerat hukum.

"Menurut saya, kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka semua BUMN harus dihukum, ini bahayanya. Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka semua perusahaan negara harus dihukum, dan itu akan menghancurkan sistem," kata JK lagi.

Oleh karena itu, JK mewanti-wanti jika Dirut Pertamina akan dihukum karena merugi akan berbahaya juga. Sebab, kata JK, tidak ada lagi yang mau bekerja di perusahaan negara. "Kalau rugi 2 tahun langsung dihukum, tidak ada lagi yang berani berinovasi," pungkas JK.

Sebelumnya, terdakwa Karen beralasan menghadirkan JK sebagai saksi meringankan karena terlibat dalam pengambilan kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengembangan energi gas di Indonesia.

"Saya akan menghadirkan Pak JK karena beliau terlibat di Perpres ya, yang tadi dibilang harus lebih banyak (penggunaan) gas, dan memang itu kita lakukan," kata Karen usai sidang.

Dalam perkara ini, terdakwa Karen disebut memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya diri terdakwa sebesar Rp 1.091.280.281,81 dan USD104,016.65 (Rp 1,6 miliar), serta memperkaya suatu korporasi yaitu Corpus Christi Liquefaction LLC seluruhnya sebesar 113.839.186,60 dolar AS (Rp 1,77 triliun).

Selain itu, JPU KPK memandang terdakwa juga menyalahgunakan jabatan yang diberikan kepadanya selaku Direktur Utama PT Pertamina periode 2009-2014.

Atas dasar itu, terdakwa Karen didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. (R. Sormin)
 

Berita Terkait

News Update