Ini lebih menyangkut kepada keteladanan seorang calon pemimpin, baik dalam ucapan dan perbuatan, termasuk cara – cara berkampanye, upaya merebut simpati publik.
Di pekan terakhir kampanye terbuka ini, hendaknya para elite dan kandidat lebih kepada upaya meyakinkan publik, memperkokoh citra terbaiknya di mata publik melalui penampilan visualnya.
Meningkatkan kepercayaan publik bukan menjatuhkan lawan dengan menghalalkan segala cara, menebar kebencian, menyebarkan kabar bohong (hoaks), dan keburukan-keburukan lainnya.
Mengingat, beberapa hal dimaksud acap dikritisi karena tak sesuai dengan adat budaya yang berlandaskan nilai – nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila.
Publik lebih bersimpati kepada kandidat yang bersikap “ngalah”, ketimbang “pongah.” Menyukai sosok yang tampil rendah hati, ketimbang tinggi hati.
Argumentatif, bukan provokatif, menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran. Menawarkan solusi, bukan mengumbar janji. Itulah harapan publik.
Masih tersisa waktu sepekan ke depan untuk meningkatkan simpati publik dengan mengedepankan sikap dan perilaku seperti yang diharapkan.
Ini untuk mencegah mencuatnya penafsiran bahwa sebelum terpilih, di saat memerlukan banyak dukungan publik saja sudah mengabaikan harapan publik, apalagi setelah menjabat.
Penafsiran seperti itu tidak sepenuhnya benar, tetapi menjalankan kehendak publik adalah jalan terbaik.
Sebagai politisi sejati tentu sangat tidak berharap dicap memburu suara rakyat selagi perlu, jelang pemilu. Suara rakyat dianggap angin lalu usai pemilu.
Ironi, jika suara rakyat dilirik pun tidak, apalagi dipegang erat sebagai dasar membuat kebijakan sesuai kehendak suara rakyat.
Kita tahu, suara rakyat tentu saja diberikan kepada tokoh yang sehati. Mestinya, tokoh yang dipercaya mendapat mandat tersebut akan menjalankan amanat sebagaimana kehendak suara rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.