Beragam janji “manis” disampaikan oleh para calon pemimpin dan caleg jelang pemilu. Lebih – lebih memasuki di masa kampanye seperti sekarang ini. Karenanya tidaklah berlebihan sekiranya dikatakan tahun politik itu identik dengan tahun obral janji.
“Sah – sah saja obral janji, namanya juga kampanye untuk meraih kemenangan. Yang penting setelah menang, esih kemutan -masih ingat dengan janjinya,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Kalau pernah janji pasti ingat dong, persoalannya janjinya akan ditepati atau tidak. Itu yang sering menjadi bahasan,“ kata Yudi.
“Tetapi yang dijanjikan begitu banyak. Di sini janji begini, di sana beda, di tempat lain, beda lagi. Saking banyaknya, dikhawatirkan ada yang terselip,” kata Heri.
“Pasti dicatat, apalagi janji itu langsung disampaikan kepada rakyat,” jelas Yudi.
“Tetapi patut diingat, janji itu bisa menjadi bumerang, kalau janjinya terlalu manis, tetapi hasilnya menjadi pahit,” kata mas Bro.
“Maksudnya gimana Bro?” tanya Heri.
“Ya itu tadi, janji yang manis – manis tidak terealisasikan. Ibaratnya janji hanya semacam pemikat untuk meraih kemenangan atau alat promosi,” urai mas Bro.
“Berarti janji tidak perlu muluk – muluk, tetapi terukur dan realistis,“ tanya Heri.
“Betul. Janji yang disampaikan para calon kepada publik harus terukur, memiliki parameter yang jelas. Dan, yang penting lagi bisa dibuktikan dan direalisasikan,” tambah mas Bro.
“Meski kampanye itu tahapan untuk meyakinkan publik dengan menyampaikan janji politik, tetapi dalam politik itu sendiri terdapat etika dan tata krama,” kata Yudi.
“Etika itu yang memfilter agar tidak mengumbar janji berlebihan.Etika itu yang akan mengevaluasi diri agar memberi janji yang sekiranya dapat terealisasi, bukan sebatas omdo,” kata mas Bro.
“Janji tidak boleh menebar janji yang manis – manis dong?,” tanya Heri.
“Janji itu harus manis, kalau pahit tidak bakalan laku. Yang penting manisnya terealisasi, bukan menjual mimpi,” jawab mas Bro. (joko lestari)