JAKARTA, POSKOTA.CO.ID- Setelah kopi dan bir diidentifikasi terancam sulit diproduksi akibat krisis iklim, kini ancaman tersebut telah meluas hingga ke produksi gula.
Melansir The Guardian, meningkatnya suhu global pada 2023 yang menjadikannya tahun terpanas dan memicu kekeringan telah mempengaruhi hasil pangan, termasuk gula.
Permasalahan dalam produksi gula ini juga diperparah oleh adanya ancaman pembatasan ekspor dari negara-negara produsen gula.
Ya, produksi gula di India dan Thailand mengalami penurunan akibat kesulitan menanam tanaman pangan dalam menghadapi kekeringan di musim kemarau yang ekstrem.
Walhasil, harga gula secara global telah meloncat ke tingkat tertinggi sejak 2011 lalu. Sebab, India dan Thailand merupakan negara eksportir gula terbesar di dunia, setelah Brazil.
Amerika Serikat menyebut, harga gula dan permen memang telah naik sebesar 8,9% pada tahun 2023. Jumlah tersebut diperkirakan akan kembali naik sebesar 5,6% pada tahun ini.
Menurut peneliti senior di International Food Policy Research Institute, Joseph Glauber, dampak paling parah dari tingginya harga gula akan dirasakan oleh negara-negara berkembang.
“Tidak diragukan lagi harga gula saat ini sangat tinggi dan akan tetap tinggi sampai El Nino mereda. Ada kekhawatiran mengenai dampak perubahan iklim dalam jangka panjang dengan perpindahan area tanam dan volatilitas harga barang-barang seperti beras dan gula yang lebih tinggi,” kata Glauber dikutip The Guardian, Senin (8/1/2024).
Para penelitian mengungkapkan bahwa pemanasan global akan sangat menghambat kemampuan negara-negara, seperti Tiongkok dalam menanam padi.
Selain itu, peneliti juga mengatakan, produksi jagung secara global juga dapat merosot sebesar 24% pada 2030 mendatang.
Secara keseluruhan, inflasi pangan di seluruh dunia diperkirakan bisa mencapai tiga persen per tahun pada tahun 2030-an, jika upaya adaptasi besar-besaran terhadap krisis iklim tidak dilakukan.