Seperti pernah saya singgung di kolom ini, budaya yang perlu dibangun di ruang publik dengan senantiasa menampilkan pesona kesantunan. Santun dalam ucapan dan tulisan (cuitan), santun pula dalam merespons dialog di ruang publik.
Seseorang dapat dikatakan beradab, jika memiliki kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti. Terdapat kelembutan dan kehalusan dalam bertutur kata,
bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari – hari. Di mana pun, kapan
pun dan kepada siapa pun.
Ini sejalan dengan makna dari penjabaran butir – butir sila kedua falsafah bangsa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab.
Perilaku yang semakin menunjukkan adanya saling menghargai antar-sesama,
semakin mengakui persamaan hak dan derajat masing – masing individu.
Menghargai berarti tidak saling mengganggu, tidak menghalang – halangi, dan
tidak memaksakan, apalagi jika sampai melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain.
Politik beradab adalah perilaku politik yang menebarkan kesantunan, bukan memproduksi kecurigaan. Menghargai perbedaan, bukan mempersoalkan perbedaan. Menghargai eksistensi hak asasi, bukan memprovokasi dan menghalang - halangi.
Mari kita kelola persaingan politik jelang pilpres secara lebih beradab, bukan untuk biadab. Bersaing secara sehat dan beradab, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Tidak mengkriminalisasi lawan. Kalau kemudian menang, jadilah “Menang tanpa ngasorake” – Menang tanpa merendahkan lawan untuk mencegah timbulnya kegaduhan. Termasuk menang dalam kampanye, dalam debat dan adu gagasan.
Itulah perlunya budi pekerti luhur seperti bersikap jujur, amanah, rendah hati (tawadhu), santun, sabar dan senantiasa bersyukur, wajib kita terapkan dan
wariskan hingga ke anak cucu.
Karakter itu pula yang hendaknya diterapkan pada musim kampanye pilpres,
termasuk dalam debat di ruang publik. (Azisoko)