JAKARTA,POSKOTA.CO.ID - Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), onglos haji 1445 H/2024 M dengan rata-rata sebesar Rp105 juta per jemaah.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief mengakui usulan BPIH 2024 yang disampaikan Pemerintah ke DPR lebih tinggi dibanding biaya haji 2023.
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab, antara lain kenaikan kurs, baik dolar AS maupun Riyal Arab Saudi, dan kenaikan penambahan layanan.
"Biaya Haji 2023, disepakati dengan asumsi kurs 1 USD sebesar Rp15.150 dan 1 SAR sebesar Rp4.040. Sementara Usulan Biaya Haji 2024 disusun dengan asumsi kurs 1 USD sebesar Rp16.000 dan 1 SAR sebesar Rp4.266,” jelas Hilman di Jakarta, Selasa (14/11/2023).
"Kalau kita cek nilai tukar kurs dolar terhadap rupiah per hari ini (14/11) sudah di angka Rp15.700-an. Nah, dalam usulan BPIH kita gunakan asumsi Rp16.000 karena kurs memang sifatnya sangat fluktuatif. Ini yang dalam skema Panja akan dibahas bersama dengan ahli keuangan untuk menentukan kurs yang paling tepat pada asumsi berapa?" ujarnya.
Selisih kurs ini, kata Hilman, berdampak pada kenaikan biaya layanan yang bisa diklasifikasikan dalam tiga jenis. Pertama, layanan yang harganya tetap atau sama dengan tahun 2023. Kenaikan dalam usulan BPIH 2024 terjadi karena adanya selisih kurs.
"Misalnya, transportasi bus salawat. Kami mengusulkan biaya penyediaan transportasi bus salawat tahun ini sama dengan 2023, sebesar SAR146. Tapi asumsi nilai kursnya berbeda. Sehingga ada kenaikan dalam usulan,” sebut Hilman.
Kedua, lanjut Hilman, layanan yang harganya memang naik dibanding tahun lalu. Kenaikan usulan terjadi karena kenaikan harga dan selisih kurs. Misal, akomodasi di Madinah dan Makkah.
“Pada 2023, sewa hotel di Madinah rata-rata SAR 1.373, tahun ini kita usulkan SAR 1.454. Demikian juga di Makkah, ada kenaikan usulan dari tahun sebelumnya,” ujar Hilman.
Ketiga, layanan yang harganya naik dan volumenya bertambah. Kenaikan usulan terjadi karena selisih harga, selisih volume, dan juga selisih kurs. Contohnya: konsumsi di Makkah, tahun lalu disepakati dengan Komisi VIII DPR hanya 44 kali makan, meski pada akhirnya bisa disesuaikan menjadi 66 kali makan.
"Tahun ini kami usulkan layanan konsumsi di Makkah menjadi 84 kali makan, dengan rincian 3 kali makan selama 28 hari. Sehingga ada selisih volume. Harga konsumsi per satu kali makan pada tahun lalu dibanding tahun ini juga naik. Kenaikan bertambah seiring adanya perbedaan kurs,” tegas Hilman.