Suhu politik semakin menghangat, jika tidak disebut memanas jelang gelaran pilpres tahun 2024. Berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia bakal capres – cawapres yang menuai kontroversi hingga melebar ke usulan hak angket, dan isu pemakzulan.
Usulan hak angket mencuat karena putusan MK yang mensyaratkan bakal capres – cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah /sedang menduduki jabatan sebagai kepala daerah, dinilai sebagai upaya membangun dinasti politik.
Putusan MK ini dikesankan menggelar karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres. Ini tak lain karena Gibran, adalah keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman, yang ikut terlibat dalam merumuskan putusan MA itu.
Usulan hak angket sah – sah saja, karena merupakan hak anggota dewan yang dapat digunakan sepanjang melalui prosedur dan memenuhi syarat untuk menggelar hak angket kepada Ketua MK terkait putusan dimaksud. Dan, nyatanya hak angket acap dilakukan oleh dewan dalam mengkritisi kebijakan pemerintah sebagaimana fungsi dan kewenangannya.
Di sisi lain, mencuat penilaian bahwa putusan MK diduga melanggar kode etik hakim konstitusi dengan sejumlah argumen yang disajikan. Merespons polemik dugaan pelanggaran kode etik, maka dibentuk Majelis Kehormatan (MK) Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie untuk mengadili ada tidaknya pelanggaran kode etik. Hasilnya akan diumumkan Selasa (7/11/2023) sore ini.
Adakah pelanggaran kode etik seperti diduga? Jawabnya, tunggu pengumuman sore ini.
Yang menjadi pertanyaan, apakah Majelis Kehormatan MK itu dapat mengoreksi keputusan yang telah diambil oleh hakim MK, dengan kata lain, membatalkan putusan sebelumnya? Jawabnya boleh beragam.
Tetapi, majelis kehormatan itu, lazimnya mengadili soal pelanggaran kode etik profesi. Mengambil keputusan soal terbukti tidaknya pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya, berikut sanksinya. Tidak mengadili materi hasil keputusan sebuah lembaga (MK).
Jika ini yang menjadi rujukan, putusan MK mengenai syarat batas usia dan pengalaman menjadi kepala daerah, tetap berlaku. Artinya pencalonan bakal capres – cawapres ke KPU jalan terus. Tiga pasangan, bakal ditetapkan tanggal 13 November 2023.
Lantas bagaimana dengan isu pemakzulan? Jawabnya juga bisa beragam tergantung sudut pandang. Tetapi dalam sejarah pemakzulan di Indonesia, tidak ada presiden yang dimakzulkan secara konstitusi. Untuk dimakzulkan secara konstitusi harus dibuktikan terlebih dahulu, adanya pelanggaran konstitusi.
Sejarah mencatat, tiga Presiden yang pernah dimakzulkan sebelumnya (Soekarno, Soeharto dan Gus Dur), dilakukan secara politik.
Proses politik itu bisa diawali dari hak angket dan interpelasi. Prosesnya pun cukup panjang. (*)