Memang karakter anak muda pada umumnya cenderung sangat kritis. Namun kekritisan itu bukan kepada perang pendapat yang tidak berujung pangkal karena mempertahankan ego politik partainya, dan kelompoknya.
Kritis dimaksud terhadap kebijakan negara yang digulirkan tanpa melibatkan publik, sementara kebijakan itu untuk publik, berdampak buruk kepada publik, termasuk dalam tatanan kehidupan berdemokrasi.
Terhadap penyelewengan, tindakan sewenang-wenang, sak karepe dewe serta maraknya kasus korupsi, apalagi dilakukan pejabat publik, tak lepas dari perhatian kawula muda.
Kasus semacam ini, perilaku buruk, dapat mendorong anak muda menjadi apatis terhadap politik elektoral.
Cukup beralasan, jika semua kandidat capres mengusung kepeduliannya untuk memperkuat penegak hukum dan lembaga antirasuah untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi.
Ini gagasan positif.
Hanya saja kaum muda akan mengkritisinya, mungkinkah gagasan itu akan dijalankan sepenuhnya atau hanya lips service.
Satu di antaranya dengan melihat rekam jejaknya.
Ingat jejak digital masa lalu, takkan punah, selalu dapat dimonitor kapan saja dan di mana saja.
Itulah sebabnya konten manipulasi, hoax dan fitnah yang disebarkan untuk menjatuhkan lawan melalui media sosial, boleh jadi akan menjadi senjata makan tuan.
Tujuannya mengenai sasaran, kaum muda sebagai pengguna terbesar media sosial.
Data menyebutkan sebanyak 79,5 persen dari 167 juta pengguna media sosial di Indonesia adalah anak muda.