Isu dinasti politik yang mengarah kepada keluarga Jokowi sedang menjadi perbincangan, menyusul keputusan MK soal batas usia bakal capres- cawapres yang terkesan memuluskan Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto.
Dinasti politik sebelumnya sudah mengemuka setelah Kaesang Pangarep terjun ke politik menjadi Ketum PSI. Malah, jauh sebelumnya, ketika Gibran terpilih menjadi Wali Kota Solo dan kakak iparnya, Bobby Nasution menjadi Wali Kota Medan, tak lepas dari isu menuju dinasti.
“Sejak dulu dinasti sudah terjadi. Pada zaman kerajaan, pengangkatan raja berdasarkan garis keturunan, putra mahkota dan seterusnya,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, Mas Bro dan Yudi.
“Setelah Indonesia merdeka, hingga kini dinasi politik tetap ikut mewarnai pergantian kekuasaan, dengan proses yang berbeda,” tambah Yudi.
“Tak hanya di Indonesia. Di luar negeri, di negara yang maju demokrasinya seperti Amerika, ada dinasti politik. Misalnya George Bush, John F Kennedy. Juga di India, seperti Nehru dan Indira Gandhi,” kata Mas Bro.
“Saya juga dinasti politik, mas. Orang tua saya dulu pemilik warteg, sekarang saya meneruskan usaha warteg,” ujar Ayu Bahari, pedagang warteg.
“Betul Yu, Dinasti tak hanya di jabatan – kekuasaan pemerintahan, juga di parpol dan bisnis. Berarti dinasti itu hal yang biasa,” kata Heri.
“Konstitusi sebagai hukum tertinggi tidak melarang anak pejabat menjadi pemimpin apakah presiden, gubernur, bupati atau wali kota,” kata Mas Bro.
“Semua orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin, tanpa melihat latar belakang, asal – usul keluarganya,” ujar Yudi.
“Iya kita juga bisa menjadi pemimpin. Persoalannya bisa apa tidak menjadi calon pemimpin.Terus, bisa tidak menjadi pemimpin yang amanah. Kalau bisa, semua syarat terpenuhi, enggak ada masalah,” kata Heri.
“Menjadi masalah kalau memalsukan identitas, memanipulasi data. Ibaratnya menghalalkan yang haram, membenarkan yang salah,” jelas Mas Bro.