“Demokrasi dan nomokrasi harus ditegakkan, diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi mata uang yang sama pentingnya,”
-Harmoko-
ENAM bulan lagi rakyat Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden yang baru, akan memilih para wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah. Rakyat juga akan memilih para anggota perwakilan daerah dari seluruh negeri.
Hajatan besar ini sering disebut sebagai pesta demokrasi, pesta rakyat dalam menjalankan kedaulatannya. Rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan dalam menentukan pemimpin bangsa dan negara serta pemerintahan melalui pilpres. Menentukan para wakil rakyatnya di lembaga perwakilan rakyat melalui pemilihan umum legislatif (pileg).
Maknanya penyelenggaraan pemilu serentak 14 Februari 2024 merupakan perwujudan sekaligus pesta demokrasi, juga ekspresi kedaulatan rakyat, kedaulatan kita semua, dengan satu warga satu hak suara (one man, one vote).
Adanya pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat, serta adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
Itulah ciri negara yang menerapkan sistem demokrasi, khususnya Demokrasi Pancasila, di mana pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan, bahkan diidealkan diselenggarakan bersama – sama dengan rakyat. Bukan semata oleh penguasa dan koleganya.
Ini menuntut adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung sebagaimana tatanan demokrasi yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.
Dalam praktiknya, demokrasi akan menjadi kuat jika ditopang oleh penegakan hukum yang adil dan beradab, mengingat pelaksanaan kedaulatan rakyat ( demokrasi) itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Berarti ada aturan main yang perlu dipatuhi bersama.
Itulah sebabnya adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum, menjadi ciri dalam tatanan demokrasi. Malah, disebutkan adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
Tak berlebihan sekiranya pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi.
Yang hendak saya sampaikan adalah penegakan hukum yang adil, jujur dan beradab diperlukan guna mengawal pelaksanaan demokrasi sehingga kedaulatan tertinggi benar- benar berada di tangan rakyat. Bukan di pusaran tangan penguasa, tidak disetir sekelompok elite dan petualang politik.
Karenanya, hukum harus dijauhkan dari kepentingan politik penguasa. Hukum tidak menjadi alat kepentingan politik siapa pun dia. Hukum tidak mencampuri urusan politik, tidak pula ikut mengintervensi proses politik.
Sebagai negara hukum (Rechtsstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat), politik harus tunduk kepada hukum, tetapi politik juga tidak boleh mengintervensi hukum. Juga hukum tidak menjadi alat politik.
Demokrasi (kedaulatan rakyat) itu penting, kedaulatan hukum (nomokrasi ) juga tak kalah pentingnya. Keduanya harus ditegakkan, diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi mata uang yang sama pentingnya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dalam menegakkan negara hukum hendaklah dikembangkan sesuai prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dan tidak boleh dibuat, ditetapkan,ditafsirkan dan ditegakkan dengan kekuasaan belaka.
Penegakan hukum yang memberi kesan , seolah – olah menjadi alat politik tertentu, lebih – lebih di tahun politik ini akan memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum itu sendiri.
Dampak lebih lanjut dapat menuai kontroversi dan pada gilirannya menimbulkan kegaduhan politik, apalagi penegakan hukum terhadap elite politik yang saat ini menjadi kandidat calon pemimpin bangsa ke depan. Tokoh yang sudah dideklarasikan oleh partainya sebagai bakal capres – cawapres.
Lepas dari persoalan bahwa penanganan kasus adalah murni sebagai penegakan hukum, tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pilpres, pemilu, tetapi isu politik tak bisa dihindarkan, bahkan kian mengental penilaian sebagai bagian dari adanya kepentingan politik, begitu ada tindakan hukum yang dapat mengubah peta dan kekuatan politik jelang pilpres.
Kita sepakat, hukum harus ditegakkan meski bumi dan langit sedang bergemuruh, tetapi harus dilakukan secara transparan, adil, tidak memihak. Tidak boleh dipengaruhi oleh kerikuhan politik, apalagi pesan politik.
Itulah perlunya kejujuran dan transparansi dalam menegakkan hukum. Transparansi juga dalam berdemokrasi.
Ada adagium, “ demokrasi tanpa hukum bisa menjadi liar dan menimbulkan anarki, sementara hukum tanpa demokrasi bisa zalim dan sewenang – wenang.”
(Azisoko).