Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis 9.919 bakal calon anggota legislatif yang didaftarkan oleh 18 parpol peserta pemilu 2024.
Dari jumlah itu, terdapat 67 eks narapidana atas berbagai kasus, termasuk belasan pidana korupsi yang akan ikut berlaga dalam pemilihan legislatif menuju Senayan, Jakarta. Boleh jadi, jumlahnya bisa bertambah, pada caleg tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Beragam komentar disampaikan terkait caleg eks napi, utamanya pidana korupsi. Dinilai, masuknya mantan terpidana korupsi tak sejalan dengan upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Di satu sisi pemerintah bekerja keras memberantas korupsi, di sisi lain membuka peluang mantan terpidana kasus korupsi menjadi wakil rakyat.Kondisi demikian dinilai belum adanya kebijakan progresif memberantas korupsi.
Pendapat ini cukup beralasan mengingat korupsi sangat merugikan rakyat, sementara oknum yang telah merugikan rakyat akan menjadi wakil rakyat. Ini yang acap menimbulkan pertanyaan bagi kita bersama.
Pertanyaan inilah yang hendaknya disikapi oleh para pengambil kebijakan dalam menata masa depan bangsa, utamanya mengambil kebijakan alternatif sehingga tidak ada lagi mencuat pertanyaan serupa di kemudian hari.
Seperti diketahui, 67 mantan napi tersebut sudah memenuhi syarat (MS) menjadi caleg DPR dan DPD, termasuk syarat ikut pileg bagi mantan terpidana sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK membolehkan mantan terpidana dengan ancaman kurang dari lima tahun penjara menjadi caleg DPR/DPRD dan DPD. Sementara bagi mantan terpidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih, diperbolehkan menjadi caleg DPR/DPRD dan DPD setelah melewati masa tunggu lima tahun sejak bebas.
Ini bentuk pemulihan hak asasi manusia, termasuk hak politiknya setelah menjalani masa hukuman akibat dari perbuatannya.
Satu hal, eks mantan napi dapat menjalankan hak politiknya karena ada kendaraan yang membawanya, mengusungnya, yaitu parpol.
Sekarang kembali kepada rakyat itu sendiri dalam menyikapi caleg yang pernah tersangkut kasus hukum.