Selain itu, Prof Juanda juga menanggapi soal usulan Qodari masa jabatan presiden menjadi 5 periode, hal itu bagi Prof Juanda bukan solusi sebagai pengganti PPHN, bahkan berpotensi menjadi sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Hak setiap warga negara mengusulkan mau 5 periode 10 periode, tetapi saya sendiri berpendapat masa lalu kita sudah pernah praktiknya hampir sama 30 tahun itu sama dengan 25 tahun, karena 5 periode atau lima tahun, satu periode kalau 6 tahun berarti 30 tahun. Masa lalu kita sudah terbukti itu pasti mengembalikan otoritarian dan absolutisme. Itu adalah sebuah kemunduran untuk kita berdemokrasi,” ungkapnya.
Dikatakan Prof Juanda, Amerika Serikan sebagai ‘mbahnya’ demokrasi saja dibatasi hanya sampai 2 periode masa jabatan presiden.
“Amerika misalnya kenapa mereka sudah menyiapkan dua kali, dua kali dibatasi saya kira menurut saya mungkin tidak dalam ilmu saya, tetapi hati kami yang bicara dan pengetahuan tentang demokrasi itu cukuplah masa lalu yang kelam janganlah diulangi,” ucapnya.
Prof Juanda berpendapat jika presiden terpilih sampai 5 periode lamannya sebuah indikator bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan kader dan calon pemimpin bangsa yang baik, salahsatunya lewat partai politik.
“Menggambarkan bahwa bangsa ini tidak menyiapkan diri untuk melakukan pengkaderan, pegantian pemimpin dengan baik,”urainya.
Lebih jauh Prof Juanda mengatakan, kekuasaan yang lama dikendalikan oleh seseorang juga akan menimbulkan potensi kekuasaan yang korup. Seperti adagium “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.”).
“Kekuasaan itu sama dengan narkotika kalau sekali berkuasa ingin dua kali, dua kali mau tiga kali dan itulah hakikat dari kekuasaan itu ketika tidak ditopang oleh satu kesadaran untuk menjalankan roda pemerintahan berdasarkan aturan makanya kekuasaan itu dibatasi oleh hukum di situlah negara demokrasi,” tukasnya.