ADVERTISEMENT

Memuliakan Bangsa dan Negara

Selasa, 22 Agustus 2023 18:06 WIB

Share
Ichsanuddin Noorsy bicara soal Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Foto: Parlemen.
Ichsanuddin Noorsy bicara soal Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Foto: Parlemen.

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Oleh: Ichsanuddin Noorsy

Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR-RI 2023 menyatakan, pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dapat dilakukan setelah pelaksanaan Pemilu 2024. Pernyataan itu bagaikan gayung bersambut dengan pidato Ketua DPD-RI LaNyalla Mahmud Matalitti. 

Dalam sidang yang juga merupakan Sidang Bersama DPR-RI dan DPR-RI 16 Agustus lalu, Ketua DPD-RI menegaskan bahwa bangsa Indonesia telah meninggalkan Pancasila dan pemilihan presiden secara langsung yang diadopsi begitu saja (dari sistem politik liberal, pen), terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. 

“Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa difabrikasi,” tegas tokoh yang suka berkunjung ke masyarakat tanpa protokol ketat ini.

Bamsoet, panggilan akrab Bambang Soesatyo, menyampaikan hal itu dalam rangka kebutuhan Indonesia untuk perencanaan jangka panjang yang holistik, konsisten, dan berkesinambungan dari suatu periode pemerintahan ke periode pemerintahan berikutnya, antara pusat dan derah. 

Tujuannya, agar mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang luar biasa, untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Sementara hasil kunjungan Ketua DPD-RI ke 34 provinsi dan sekitar 300 kabupaten-kota menemukan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan oleh pemerintah daerah.

Singkatnya, temuan DPD adalah masalahnya sedangkan PPHN adalah jawabannya. Maka antara MPR dan DPD seakan menjadi seirama. Namun menjadi bertolak belakang saat Ketua MPR-RI menyatakan pembahasan PPHN itu dilakukan setelah Pilpres 14 Februari 2024.

Masalah utamanya terletak pada kedudukan MPR, peranan, dan produk hukumnya. Bamsoet menyadari adalah tidak mungkin membuat PPHN (seperti GBHN era Orba) tanpa mengubah MPR menjadi lembaga tinggi negara. Jika MPR sudah menjadi lembaga tertinggi negara, maka MPR pun berhak memilih dan menetapkan serta memberhentikan Presiden RI.

Padahal Ketua DPD-RI tegas-tegas menyatakan bahwa memilih Presiden RI dengan cara liberal telah meninggalkan Pancasila, khususnya sila ke empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Maka menetapkan PPHN melalui MPR- RI sementara memilih presiden dengan cara liberal menjadi kontradiksi satu sama lain. Presiden yang dipilih langsung jelas merupakan mandataris partai yang diminta pemilih untuk memilih, sedangkan PPHN merupakan produk MPR yang merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT