IBU Kota DKI Jakarta kembali menjadi sorotan akibat polusi udara, belakangan ini. Bahkan kualitasnya pun disebut yang terburuk sedunia berdasarkan situs pemantau kualitas udara IQAir, sekalipun pada akhir pekan Minggu (13/8/2023).
Berdasarkan situs pemantau kualitas udara IQAir tersebut, pada Minggu pagi kualitas udara di Jakarta tembus di angka 172 dengan polutan utama PM2,5 serta nilai konsentrasi 96,8 mikrogram per meter kubik.
Tingginya polutan dan konsentrat itu, Jakarta pun dinobatkan sebagai kota terpopulasi di dunia. Menyusul kemudian peringkat kedua, Kota Kampala, Urganda dengan indek kualitas udara 164 dan Johannesburg, Afrika Selatan di peringkat ketiga dengan indek kualitas udara 162.
Bukan satu prestasi yang patut dibanggakan, mengingat kondisi udara tak sehat ini sudah bakal tentu dapat mengancam kesehatan warga, terlebih bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, wanita hamil dan lain sebagainya. Adapun penyakit saluran pernafasan akut (ISPA), merupakan keluhan bakal didapati karena pencemaran udara.
Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono menyebutkan bahwa transportasi kendaraan yang keluar masuk Jakarta sebagai faktor utama penyumbang polusi udara di Jakarta saat ini. Menyusul kemudian, musim kemarau yang saat ini sedang berlangsung hampir terjadi di sebagian daerah Indonesia termasuk Jakarta.
Kualitas udara tak sehat di Jakarta, memang bukan kali ini saja terjadi. Dan pemerintah daerah (Pemda) DKI pun, bukan tak melakukan upaya dalam menangani. Ada banyak program dilakukan untuk menekan polusi udara, seperti “Program Langit Biru”.
Dalam program tersebut, Pemda memperbanyak transportasi umum berbasis listrik, melakukan uji emisi massal pada kendaraan pribadi, menaikan tarif parkir, memberlakukan aturan kendaraan gajil-genal, bahkan menacanakan menerapkan jalan berbayar.
Namun demikian, banyaknya program dan Upaya pemerintah dalam menekan polusi udara di Jakarta itu tak bakal sukses tanpa adanya kesadaran masyarakatnya sendiri. Terlebih dalam penggunaan transportasi pribadi, untuk dapat beralih ke transportasi massal.
Kampanye penggunaan transportasi massal dari kendaraan pribadi gencar dilakukan pemerintah. Tak hanya itu, sarana dan fasilitas transportasi massal saat ini pun dirasa sudah nyaman diberikan untuk warga.
Jadi memang kira tak ada alasan untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi massal, demi mendukung “Langit Biru Jakarta” dan menjadikan kualitas udara Jakarta kembali sehat dan baik. (*)