Sorot: Insting politik

Selasa 01 Agu 2023, 05:00 WIB
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menerima silaturahmi politik dari Yusril Ihza Mahendra (foto/ist)

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menerima silaturahmi politik dari Yusril Ihza Mahendra (foto/ist)

DALAM  dunia politik kita kenal sejumlah istilah mulai dari trik dan intrik politik, manuver politik, gimmick politik, politik balas budi hingga politik pencitraan dan masih banyak lagi.

Kita juga kenal istilah insting politik yang kemarin dilontarkan bacapres Prabowo Subianto, yang juga Menhankam dan ketum Gerindra. Prabowo menilai bahwa Jokowi punya insting politik yang tajam.

Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), insting berarti pola tingkah laku yang bersifat turun temurun yang dibawa sejak lahir lahir. Bisa disebut naluri. Ada dorongan untuk secara tidak sadar bertindak tepat.

Karena pembawaan sejak lahir, bakat sejak lahir, maka tak semua orang dapat memiliki insting yang sama dalam melihat dan merespons keadaan. Jika pembawaan ini dipadukan dengan pengetahuan dan pengalaman, tentu hasilnya akan lebih baik lagi.

Insting politik berarti kepandaian atau keterampilan membaca situasi, tanda – tanda – tanda atau isyarat yang bakal terjadi dalam kehidupan sosial politik, utamanya di lingkungan sekitarnya.

Seseorang yang memiliki insting politik yang tajam, akan mengambil sikap, merespons situasi hingga mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya, orang – orang disekitarnya.

Jika politisi, berarti  dapat mengambil keputusan politik yang tepat bagi kebaikan dirinya, partainya dan masyarakat luas. Efeknya juga panjang dan meluas bagi para simpatisan dan pendukungnya.

Dapat dikatakan, keputusan atau kebijakan yang diambil dapat memperbesar peluang mendapatkan efek ekor jas ( coattail effect). seperti yang sekarang banyak disinggung, termasuk ketika menetapkan sosok bakal calon presiden (bacapres).

Begitu juga ketika menentukan bakal calon wakil presiden (bacawapres).

Tidak semua pemimpin parpol memiliki insting politik yang tajam dalam menetapkan bacapres.

Tidak tepat dalam mengambil sikap, tokoh yang digadang – gadang bakal mengerek elektabilitas parpolnya, malah melemahkan. Begitu juga sosok yang dicalonkan tidak  bergerak naik, malah kian merosot.

Tidak hanya itu, tak adanya insting politik yang tajam, jika insting itu disebut sebagai skill, boleh jadi keputusan bergabung ( koalisi ) dengan parpol lain tidak akan mengerek elektabilitas partai pada pemilu mendatang, tetapi menurunkan.

Maknanya insting politik perlu diasah agar semakin tajam agar tidak melenceng dari target yang hendak dicapai, termasuk dalam mendukung bacapres dan bacawapres.

Pengalaman berkompetisi, boleh jadi, akan membuat insting politiknya menjadi semakin tajam dalam mengatasi segala macam problema demi memajukan bangsa dan negara. Semoga.(*).

 

News Update