Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga juga menyatakan bahwa wahyu Gagak Emprit akan turun di tengah pegunungan selatan dalam sebuah buah degan (kelapa) beserta airnya. Siapapun yang akan meminumnya, berpeluang menjadi pemimpin negeri, hingga keturun-keturunannya.
Namun kapan wahyu itu akan turun, Sunan Kalijaga tak pernah menjelaskan, dan pantang bagi murid untuk bertanya kepada Guru.
Oleh sang guru, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat di daerah yang terdapat pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang disebut Kembang Lampir, wilayah Panggang, Gunungkidul.
Adapun Ki Ageng Giring yang tinggal di daerah Paliyan Gunungkidul disuruh menanam sepet atau sabut kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan atau buah kelapa muda. Sabut kelapa kering yang secara nalar tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa.
Suatu ketika pohon kelapa itu muncul satu biji saja, dan beliau mendapat mimpi yang aneh. Dalam mimpinya tersebut, Ki Ageng Giring harus segera memetik satu-satunya buah kelapa yang masih muda dan meminum airnya 'saendegan' atau sekali teguk, agar kelak dapat menurunkan raja dengan kepribadian yang utuh.
Untuk meminumnya, Ki Ageng Giring kemudian memilih berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu, agar dia merasa haus. Dengan demikian, ia bisa menghabiskan air degan tersebut hanya dengan sekali teguk.
Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, sahabatnya Ki Ageng Pemanahan datang dari Kembang Lampir dengan maksud untuk silaturahmi. Tuan rumah baik Ki Ageng maupun Nyai Ageng Giring rupanya tidak ada di rumah.
Dalam keadaan capek dan haus Ki Ageng Pemanahan melihat buah degan di dapur. Tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan memaras degan itu dan meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali teguk. Ia merasa tak perlu meminta izin, karena ia yakin kedekatan persaudaraan dengan sahabatnya itu.
Tak begitu lama kemudian datanglah Ki Ageng Giring dari ladang. Ia langsung menuju dapur bermaksud meminum degannya. Ternyata didapati kelapa itu sudah dibelah dan isinya sudah habis dimakan. Dan ia juga mendapati sang sahabat, Ki Ageng Pemanahan sedang bersantai di depan rumah dengan kelapa di sisinya.
Wahyu Mataram
Ki Ageng Giring tertunduk lemas. Tetapi hanya bisa pasrah. Dia lalu menceritakan degan tersebut merupakan wahyu yang telah masuk di dalam buah kelapa. Tanpa itu, sulit baginya untuk mendapat kemuliaan bagi anak cucunya kelak di kemudian hari.
Akhirnya, Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan melakukan perjanjian. Di mana jika masuk ke keturunan ketujuh, maka giliran keturunan Giringlah yang berkuasa atau menjadi raja.
Setelah kegagalan itu, Ki Ageng Giring semakin banyak beribadah kepada Allah SWT dan tak lama kemudian kesehatannya mulai rapuh, lalu dimakamkan di dekat rumahnya.