“Politik itu mahal ya,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Yang mahal biayanya, bukan politiknya,” ujar mas Bro.
“Tapi semahal-mahalnya biaya politik, tak semahal biaya pemilu tahun 2024 yang mencapai 76,6 triliun,” kata Yudi.
“Pemilu itu agenda politik nasional juga, apa bedanya,” kata mas Bro.
“Betul juga Bro. Yang saya maksud politik itu mahal adalah praktik politiknya yang memerlukan modal besar,” kata Heri.
“Kalau itu sih bukan hanya modal uang, juga tenaga dan pikiran. Belum lagi waktunya. Perlu effort tinggi untuk berpolitik, menjadi caleg misalnya,” kata mas Bro.
“Tapi banyak yang nyaleg berarti mereka punya kemampuan lebih, baik soal uang, tenaga dan pikiran,” ujar Heri.
“Kalau sudah niat memperjuangkan aspirasi rakyat, risiko apa pun dihadapi.Keluar banyak uang nggak masalah, uang dapat dicari, tetapi memperjuangkan aspirasi tak boleh henti,” kata mas Bro.
“Maksudnya uang dapat dicari, nanti kalau sudah jadi dapat mencari uang?” tanya Yudi.
“Nggak boleh berprasangka buruk begitu. Mencari uang itu dimaksudkan orang itu harus berusaha, berikhtiar mencari penghasilan untuk kehidupan. Bukan cuma duduk, diam dan tidur seharian,” ujar mas Bro.
“Iya rezeki itu sudah ada yang ngatur. Kadang tanpa diduga, datang tiba-tiba, ada yang nganter,” kata Heri.
“Tapi cari yang halal biar berkah, jangan neko-neko hasil gratifikasi, korupsi dan transaksi politik,” urai Yudi.
“Iya transaksi jual beli kursi pencalonan dan suara pemilih yang menjadikan biaya politik semakin mahal. Jika transaksi politik masih dominan, pemilu pun kurang berintegritas,” urai mas Bro.
“Jika modal yang dikeluarkan sangat besar untuk transaksi politik, maka setelah dilantik akan berpikir bagaimana caranya balik modal,” kata Yudi.
“Kita berharap pemilu mendatang, tak ada lagi transaksi politik,” kata Heri. (jokles)