MASA jabatan ketua umum parpol mulai diotak–atik. Ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar masa jabatan ketum parpol dibatasi sebagaimana jabatan presiden dan kepala daerah.
Ada yang pro dan kontra, sesuai dengan argumentasinya masing – masing. Itulah dinamika demokrasi jelang pesta demokrasi. Itu pula sebabnya ada yang berpendapat bahwa gugatan itu cuma gimmick pemilu. Bahasa sederhananya, gimmick itu sesuatu (alat atau trik) yang digunakan untuk menarik perhatian.
“Berarti sesuatunya atau isunya harus cantik dan ciamik dong agar dapat menarik perhatian publik,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Ya iyalah kalau nggak cantik kita tidak akan tertarik. Nggak usah munafik, kalau kita lihat wanita cantik tentu tertarik, dan berusaha melirik, meki sembunyi – sembunyi,” kata Yudi.
“Alasan itu sih cuma mencari pembenaran karena sarat dengan pengalaman pribadi,” tambah mas Bro.
“Walah memangnya yang ngomong, nggak begitu. Naik KRL saja pura – pura jatuhin HP biar bisa melirik,” kata Yudi.
“Sesama teman nggak boleh buka wadi.Kembali ke soal pembatasan masa jabatan ketum parpol, tentu ada alasannya dong,” kata Heri.
“ Kekuasaan yang terlalu lama pada satu tempat yang sama juga tidak baik. Mutasi jabatan, bagian dari regenerasi, selain mencegah sisi buruk, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan,” ujar mas Bro.
“Bukankah pemimpin yang berpengalaman lebih dibutuhkan,” kata Heri.
“Itu tidak terbantahkan. Tetapi penyegaran secara periodik perlu juga dilakukan,” tambah Yudi.
“Di sisi lain, kekuasaan yang absolut cenderung korup,” ujar mas Bro.
“Tetapi tergantung siapa orangnya. Tidak sedikit yang lama berkuasa tetap amanah. Sebaliknya baru berkuasa sudah mentang – mentang , sewenang – wenang,” kata Yudi. (Joko Lestari)