Sorot: Politik Uang

Jumat 16 Jun 2023, 06:00 WIB
Ilutrasi Menolak Disuap (Poskota/Arif Setiadi)

Ilutrasi Menolak Disuap (Poskota/Arif Setiadi)

Oleh : Joko Lestari Wartawan Poskota

Tok!. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak soal gugatan sistem pelaksanaan pemilu 2024. Ini berarti pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2024 dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Putusan ini tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan , Kamis (15/6/2023).

Putusan ini melegakan, utamanya bagi 8 parpol parlemen yang sejak awal menolak sistem proporsional tertutup sebagaimana kehendak gugatan. Dinamika kian menyeruak dan menuai kontroversi setelah beredar rumor MK akan memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup. Baru isu, sudah ditanggapi begitu reaktif, apalagi, benar adanya MK memutuskan sistem tertutup.

Ini menunjukkan bahwa publik berkehendak coblos langsung caleg, bukan coblos partai.

Di sisi lain, patut menjadi bahan rujukan kita bersama untuk mencegah politik uang yang diakui menjadi salah satu kejelekan sistem terbuka.

Diakui banyak pihak, sistem terbuka memiliki banyak kelemahan, di antaranya terbuka peluang terjadinya transaksi politik.

Seperti diketahui, uji materi ini diajukan karena sistem proporsional terbuka dinilai lebih banyak jeleknya. Caleg partai bakal saling sikut demi mendapatkan suara terbanyak. Tak jarang kader berpengalaman kalah oleh kader dengan popularitas dan modal besar. Selain, membuka peluang terjadinya politik uang.

Jika beberapa hal yang disebutkan tadi diakui sebagai kelemahan dari sistem proporsional terbuka, tentunya menjadi kewajiban kita untuk mencegahnya, utamanya parpol peserta pemilu yang menggodok para kadernya sebagai caleg.

Parpol hendaknya melakukan pengawasan ekstra ketat terhadap calegnya yang berbuat curang, mengandalkan finansialnya untuk merah suara, bukan kemampuannya.

Jika modal besar yang dijadikan alat meraih simpati, bukankah patut dipertanyakan kualitas dari kadernya yang telah direstui maju sebagai caleg. Apalagi, dapat mengalahkan kader lain yang lebih berpengalaman, berkualitas dan dekat dengan rakyat, tapi tidak bermodal. Sementara pendatang baru, tidak punya berpengalaman, tapi punya banyak uang, akhirnya menang.

Politik dan uang merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya sulit dipisahkan.

Tidak terbantahkan, untuk berpolitik perlu uang , dengan uang pula orang bisa berpolitik. Maknanya berpolitik perlu modal. Bagi caleg, minimal bikin spanduk sosialisasi. Menyerap aspirasi di pos ronda, misalnya perlu ngopi. Ini menggambarkan bahwa berpolitik perlu uang, tetapi bukan itu yang dinamakan politik uang.

Disebut politik uang, jika membeli suara warga untuk memilih dirinya menjadi caleg. Dikenal istilah wani piro.

Ini barter suara  dengan uang inilah yang perlu dicegah dengan sentuhan politik kepada akar rumput. Di antarnya melalui sosialisasi begitu bahayanya politik uang bagi kehidupan masyarakat ke depan, pasca pemilu.

Jangan cari enaknya sekali pemilu, tetapi sakitnya berkali – kali, di antaranya sebagai dampak korupsi. (*)

Berita Terkait

Udara Jakarta Sedang Tak Baik-baik Saja

Selasa 20 Jun 2023, 07:21 WIB
undefined

Polemik dan Konflik

Sabtu 24 Jun 2023, 07:35 WIB
undefined

News Update