“Hari ini harus lebih baik dari kemarin hendaknya terpatri dalam kehidupan sehari – hari. Lebih luas lagi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lebih baik dalam semua hal, termasuk aktivitas politik..”
-Harmoko-
Ada pepatah mengatakan, “Jangan awali hari ini dengan penyesalan kemarin, karena akan mengganggu hebatnya hari ini dan akan merusak indahnya hari esok.”
Dengan menyesali kejadian kemarin, yang sudah lalu, sudah lewat, akan menutup peluang yang begitu gemilang hari ini, saat ini, sebagai dasar pijakan hari esok.
Bukankah sering dikatakan masa lalu bukan milik kita lagi karena sudah kita lewati. Masa yang akan datang belum tahu pasti apa yang bakal terjadi. Yang kita miliki adalah masa sekarang, saat ini, yang sedang kita jalani. Sekarang lah saatnya kita berbuat untuk kemajuan hari esok, yang akan datang.
Masa lalu sebagai sejarah sebagaimana dipesankan para pejuang kemerdekaan, pendiri negeri kita tercinta ini. Dengan belajar dari masa lalu berarti kita belajar dari pengalaman yang sudah terjadi sebagai pijakan untuk masa depan.
Hanya saja belajar masa lalu, belajar sejarah bukan lantas kita kembali ke masa lalu, tinggal di masa lalu, hidup seperti masa lalu.
Segala atribut masa lalu, sudah kita tinggalkan dan hendaknya segala persoalan masa lalu pun ditanggalkan, tidak disertakan dalam kehidupan sekarang, yang tentu akan mengganggu indahnya masa depan.
Begitu juga segala peristiwa yang terjadi di masa lalu, seperti perseteruan, segala macam ketersinggungan, gesekan dan perselisihan politik di masa lalu, hendaknya dilupakan. Tidak disertakan dalam kehidupan sekarang.
Mestinya tak ada lagi perselisihan politik periode masa lalu, masih hidup di era sekarang,di tahun politik sekarang ini.
Jika dendam politik masih ada, tak ubahnya kembali hidup ke masa lalu. Ini sebuah kemunduran, bukan kemajuan.Sementara tujuan hidup sebagaimana dianjurkan para leluhur adalah menghapus masa lalu, mengubah masa kini dan menata masa depan.
Hendaknya fokus pada masa sekarang, apa yang hendak kita lakukan untuk meletakkan pondasi menuju masa depan yang lebih baik lagi.
Kini semakin dibutuhkan kebesaran jiwa dari para elite politik, petinggi parpol untuk merumuskan bersama, seperti membangun koalisi demi kemajuan bangsanya, dengan melupakan segala macam pahit getir, suka dan duka politik masa lalu.
Hendaknya meniadakan istilah musuh politik, dendam politik mengingat sejatinya tak ada musuh politik yang berujung dendam. Yang ada adalah teman berdemokrasi dalam kontestasi. Meraih kemenangan bersama demi memajukan negeri.
Apalagi dalam dunia politik di negeri, terlihat nyata tak ada lawan dan teman abadi, yang ada adalah kepentingan. Nah, kepentingan inilah yang hendaknya
dimanfaatkan untuk kemajuan, dengan meniadakan duka politik masa lalu, yang sudah berlalu.
Jangan karena selama ini berseberangan dalam sikap politik, lantas menghambat arah kemajuan.
Jangan karena dendam politik, kemudian menjadi gangguan terjalinnya kebersamaan demi memantapkan persatuan dan kesatuan sebagai modal dasar memajukan bangsa dan negara, mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial melalui gelaran Pemilu 2024.
Ego politik hendaknya ditanggalkan agar tidak berkembang menjadi embrio permusuhan dan dendam politik yang berkelanjutan. Ini perlu aksi nyata para elite politik sebagai bagian dari keteladanan berpolitik secara santun, beretika dan beradab sebagaimana jati diri demokrasi Pancasila.
Ingat, masa depan tergantung pada apa yang kita lakukan sekarang. Dalam filosofi Jawa disebabkan “Ngunduh wohing pakarti”.
Jika yang kita lakukan sekarang baik, maka masa depan pun akan menjadi baik. Sebaliknya jika sekarang kita banyak melakukan keburukan, memproduksi kebencian, permusuhan dan perselisihan, maka hasil yang diraihnya pun penuh dengan kebobrokan. Boleh jadi, pemilu akan menyisakan pembelahan dan perpecahan serta permusuhan yang berkelanjutan.
Lantas kapan kita menata diri untuk meraih masa depan? Jawabnya dimulai hari ini, jangan tunggu besok.
Hari ini harus lebih baik dari kemarin hendaknya terpatri dalam kehidupan sehari – hari. Lebih luas lagi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Lebih baik dalam semua hal, mulai dari ucapan, perilaku dan perbuatan, termasuk dalam bersosial media, utamanya para elite politik, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Ada etika dan norma dalam berucap dan bertindak. Begitupun dalam melakukan praktik politik, melalui manuver, trik dan taktik politik sebagaimana tercermin dalam nilai - nilai luhur adat budaya yang termanifestasikan dalam falsafah bangsa dan negara, Pancasila.
Banyak sikap dan perilaku kebaikan yang sudah dicontohkan para leluhur, di antaranya tidak memaksakan kehendak, tidak melakukan pemerasan, tidak mengambil hak orang lain, tidak menang sendiri dan tidak semena – mena.
Mari kita mulai hari ini. Tak perlu menunggu hari esok untuk menjadi baik. Tak harus menunggu dipaksa oleh orang lain menjadi baik. (Azisoko)