JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, terkait dualisme kepengurusan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Campuran (PPRSC) Apartemen Graha Cempaka Mas.
Rapat yang digelar pada Selasa (23/5/2023) kemarin, juga dihadiri oleh Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Campuran (PPRSC) Graha Cempaka Mas yang diketuai Hery Wijaya dan Perwakilan Manajemen PT Duta Pertiwi selaku pengelola Apartemen Graha Cempaka Mas.
Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi dalam rapat tersebut menjelaskan duduk perkara awal mula kisruh apartemen GCM.
"Pembangunan Graha Cempaka Mas ini awalnya dibangun dalam 2 tahap, yaitu yang pertama tahap pertama pembangunan 6 menara apartemen, yang terdiri atas 888 unit apartemen dan 161 unit ruko selesai tahun 1997, kemudian tahap kedua pembangunan pusat perbelanjaan dan juga rukan 4 susun selesai pada tahun 2002 ," tutur Hengki Haryadi.
Hengki melanjutkan pemaparannya bahwa setelah selesai pembangunan, dibentuk Perhimpunan Pemilih Rumah Susun Campuran (PPRSC) GCM dengan SK Gubernur Nomor 1029 Tahun 2000. Pada 2000-2012, mereka menunjuk PT Duta Pertiwi untuk menjadi pengelola, yang mengelola IPL (Iuran Pengelola Lingkungan).
Namun, pada 2013, PPRSC GCM mengumumkan kenaikan rencana IPL dan PPN. Hengki mengatakan dari sanalah, awal mula konflik terjadi yang mendapatkan resistensi dari sekelompok warga.
"Lima puluh orang ini membentuk Forum Komunikasi Warga (FKW) Graha Cempaka Mas atas inisiasi dari Bapak Tonny Soenanto dan Bapak Saurip Kadi. Kemudian, Forum Komunikasi Warga ini melakukan rapat umum luar biasa yang diinisiasi oleh Bapak Saurip Kadi, dan melakukan perubahan AD/ART serta membuat kepengurusan baru sehingga terjadi dualisme kepengurusan sejak 2013," papar Hengki.
Hengki juga menjelaskan bahwa PPRSC GCM ini yang pertama menunjuk PT Duta Pertiwi sebagai pengelola itu membawahi kurang lebih 800 kepala keluarga, kemudian P3SRS GCM ini (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Graha Cempaka Mas) membawahi kurang lebih 200 kepala keluarga tapi tidak menunjuk badan pengelola.
"Diawali adanya dualisme kepemimpinan dan kemudian adanya pembentukan P3SRS GCM oleh Pak Tonny Soenanto dan di sini pembentukan ini dianggap oleh kepengurusan yang lama tidak kuorum dan melanggar AD dan ART," tambahnya.
Hengki menjelaskan, akibat dualisme kepengurusan itu termasuk pengelolaan iuran warga. PPRSC GCM lama tetap menarik iuran melalui Badan Pengelola PT Duta Pertiwi, begitupun dengan P3SRS GCM baru juga menarik iuran antara lain listrik, IPL dan air. Namun kemudian listrik dan air untuk warga dipadamkan lantaran diduga tidak dibayarkan oleh pengurus P3SRS GCM Pak Tonny Soenanto.
"Kemudian terjadi pemadaman listrik bahwa dalam perkembangannya sejak adanya RULB ini bahkan setelah adanya SK Kepala Dinas Perumahan dan kawasan pemukiman Nomor 591, 592 dari kepengurusan Pak Tonny Soenanto ini mengumumkan agar membayarkan IPL listrik dan air kepada mereka terhadap 200 orang ini," ujar dia.