Pilihan 'Intervensi'

Sabtu 13 Mei 2023, 06:14 WIB
Karikatur Sental-Sentil: Bisa jadi, Duet Capres Bagaikan Tembang Kenangan. (karikaturis: poskota/arief's)

Karikatur Sental-Sentil: Bisa jadi, Duet Capres Bagaikan Tembang Kenangan. (karikaturis: poskota/arief's)

Oleh Ilham, wartawan Poskota

Pertarungan politik menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 semakin memanas. Aura politik memanas tersebut terasa pasca Ganjar Pranowo diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai calon presiden (capres).

Akibatnya sejumlah partai yang membangun koalisi goyah dan diprediksi akan bubar. Sebuat saja Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) mulai pincang ditinggal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terbang ke PDIP. Kini Partai Amanat Nasional (PAN) kemungkinan juga bakal menyusul meninggalkan Golkar sendiri.

Karena itu muncul wacana dibentuknya koalisi besar seperti yang dibangun partai politik (parpol) saat mengusung Jokowi menjadi Presiden. Kondisi tersebut semakin nyata ketika Presiden Jokowi mengundang dan bertemu 6 ketua umum parpol koalisi pemerintah, tanpa NasDem, di Istana Merdeka pada Selasa (2/5/2023).

Sehingga publik menilai Jokowi tidak mengundang NasDem bukan membuat suasana politik nyaman dan adem, tapi secara nyata telah mengucilkan NasDem lantaran beda pandangan terkait capres. Karena itu, Jokowi dinilai berhenti bersikap seolah intervensi mendukung capres tertentu.

Sikap itu membuat kontestasi Pilpres 2024 terkesan berat sebelah merebut kursi RI-1. Jokowi harus meniru sikap pendahulunya, yakni Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang masa akhir jabatannya yang tidak mengarahkan pilihannya terhadap capres di pemilu.

Meski demikian, sistem hukum di Indonesia tidak melarang dukungan dari presiden, wakil presiden, hingga kepala daerah yang sedang menjabat kepada kandidat capres dan cawapres tertentu. Dukungan terlarang hanya diberikan kepada lembaga peradilan, personel BPK, personel Bank Indonesia, personil BUMN/BUMD, pejabat negara non-struktural, ASN, TNI, Polri, dan perangkat desa.

Pada ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan merupakan bentuk pelanggaran kampanye. Karena itu, keberadaan presiden sebagai kepala pemerintahan patut untuk memperhatikan narasi yang hendak diucapkan ketika di hadapan publik.

Ingat Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia, artinya Ia milik semua lapisan masyarakat bukan segelintir partai. Partai yang mengusungnya seharusnya tidak mengikatnya apalagi masih menjadikannya sebagai petugas partai. Presiden harus menjadi contoh bagaimana etika berdemokrasi di tahun politik. Jangan sampai menabuh benih kebencian secara tidak langsung kepada masyarakat.

Masyarakat kita sudah dewasa dalam memilih figur capres yang dianggap memiliki kinerja dan latar belakang yang baik. Sehingga, negara tak perlu memberikan intervensi di dalam memilih kontestasi politik mendatang. Kalau negara sampai intervensi, itu artinya negara sedang bermain melecehkan rakyatnya.

Ingat hidup di dunia cuma satu kali berikan contoh berpolitiklah yang santun dan menuntun rakyat mu. Seperti kata pantun, Kain lurik bahannya katun, Aroma harum minyak zaitun, Mari berpolitik secara santun, Jadilah contoh dan juga penuntun.***

News Update