ADVERTISEMENT

Kopi Pagi Harmoko: 'Musuh Terbesar..'

Kamis, 23 Maret 2023 10:21 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Diperlukan sikap “sumeleh dan sareh” sebagai alat pengendali diri. Dengan kedua sikap itu, membuat hidup lebih tenang karena dengan penuh kesadaran telah melepaskan diri dari gejolak hawa nafsu.”
 

Sering dikatakan bahwa hawa nafsu itu ada, tetapi tidak terlihat bagaikan musuh yang tersembunyi. Tak berlebihan , jika kemudian dikatakan bahwa musuh terbesar dalam hidup kita bukan datang dari luar. Musuh berbahaya bukan berada di sekeliling kita, tetapi ada dalam diri kita, yang disebut hawa nafsu dengan beragam latar belakangnya.

Musuh besar ini akan senantiasa berkelana mencari mangsa, kalau kita tidak mampu mengontrolnya, tetapi akan diam, jika kita dapat mengendalikannya.
Cukup beralasan, jika Bung Karno pernah mengingatkan kepada generasi penerus, bahwa menaklukkan ribuan manusia, mungkin tidak disebut pemenang, tetapi menaklukkan diri sendiri disebut penakluk brilian.

Dalam filosofi Jawa disebutkan, “Wong menang iku sing biso ngasorake priyanggane dewe” – orang yang menang itu adalah orang yang bisa melawan hawa nafsunya sendiri.

Ini mengajak kepada kita semua untuk senantiasa mampu mengontrol diri, mawas diri, introspeksi atau apapun namanya dengan tujuan utama mengendalikan diri agar tidak sampai terjebak oleh permainan musuh yang tersembunyi tadi.

Mencegah musuh – musuh yang tersembunyi itu terus bergolak, bergerilya mencari mangsa, maka si pemilik nafsu (diri kita) perlu menata diri dengan tidak mengumbar kepuasaan duniawi.

Disebut nafsu karena di dalamnya terdapat keinginan hati yang kuat untuk meraih sebanyak – banyaknya kepuasan duniawi. Saking tingginya dorongan memenuhi hawa nafsu, kadang untuk mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara. Meski jauh dari etika dan norma, jauh pula dari nilai – nilai luhur bangsa kita, Pancasila, tetap saja diterabasnya.

Di tahun politik itu, kehendak untuk meraih kekuasaan dan jabatan tidaklah terhindarkan, mengingat tersedia ruang untuk menuju ke sana. Pemilu dengan segala tahapannya adalah proses politik dalam upaya memproduksi kekuasaan, setiap tahun sekali.

Proses politik harus dijalani oleh setiap kader parpol dan para tokoh sebagai kandidat penguasa baik di eksekutif dan legislatif. Mulai dari caleg di tingkat daerah sampai pusat hingga capres – cawapres. Termasuk, calon – calon menteri dalam kabinet nantinya.

Nafsu berkuasa demi memajukan bangsa dan negara, demi kemaslahatan umat, demi kesejahteraan rakyat adalah sah – sah saja. Menjadi tidak sah, jika dilakukan secara curang dan sewenang – wenang.

Itulah sebabnya nafsu tidak selamanya terkait dengan hal – hal yang buruk. Menurut telaah ahli tasawuf, nafsu memiliki tingkatan dari yang terburuk hingga yang terbaik.

Berkeinginan menjadi wakil rakyat karena panggilan nurani untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, memajukan rakyat di daerah pemilihannya adalah keinginan baik.

Tetapi jika diawali dengan sifat serakah, kemudian melahirkan korupsi, adalah nafsu yang buruk.Begitu juga sifat menang sendiri, menang – menangan, kesombongan, keegoisan, berbohong, menipu, memfitnah, arogansi, dan intoleransi adalah musuh yang tersembunyi yang harus dihindari.

Menganggap orang lain sebagai penghambat lajunya prestasi meraih kekuasaan, menuduh orang lain sebagai penyebab kegagalan, lantas menyingkirkannya dengan menebar kebencian dan hasutan, itu pertanda masih rendahnya kemampuan mengontrol diri.

Sifat yang demikian cermin tiadanya kemampuan mengendalikan musuh terbesar yang tersembunyi dalam diri.Pertanda kurangnya kepekaan mengontrol hawa nafsu yang bermukim dalam diri.

Di sinilah perlunya alat pengendali, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Sikap “sumeleh” menjadi satu upaya mengekang hawa nafsu. Sumeleh berasal dari kata “seleh” meletakkan atau melepaskan kehendak diri tanpa beban dan paksaan.

Sering disebut juga “nrimo ing pandum” – menerima apa adanya, mensyukuri apa yang didapatkan dengan penuh keikhlasan.

Memang tidak mudah untuk bersikap sumeleh karena terlebih dahulu harus melepaskan  “keakuan” diri, membuang jauh sikap memaksakan kehendak pribadi. Harus berani mengatakan “tidak” kepada diri sendiri. Berani pula mengatakan “tidak” untuk hal – hal yang kita sukai.

Ini memang perlu proses. Itulah sebabnya untuk menjadi sumeleh dibutuhkan sikap “sareh” – kesabaran dan ketenangan batin dalam menyikapi keadaan.

Dengan bersikap sumeleh dan sareh membuat hidup lebih tenang karena dengan penuh kesadaran telah melepaskan diri dari gejolak hawa nafsu. Tak ingin lagi jadi budaknya hawa nafsu. Setidaknya berusaha mengekang hawa nafsu.

Ada filosofi yang sekiranya patut menjadi inspirasi. “Kendalikan hawa nafsumu sebelum ia menghancurkanmu.”

Kita tentu sepakat jadilah hamba Allah SWT, bukan hambanya nafsu, musuh terbesarmu.

Selamat berpuasa. (Azisoko).

ADVERTISEMENT

Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT