Pengantar: Tanggal 1 Maret ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Terkait dengan itu, melalui kolom Kopi Pagi ini, kami sajikan 3 tulisan berseri. Ini seri kedua.
“.. partisipasi politik yang diarahkan, apalagi dipaksakan tidak saja akan dijauhi, tetapi dapat menimbulkan antipati. Kalau pun dipaksakan karena adanya kekuatan dan kekuasaan, akan melahirkan partisipasi semu,” -Harmoko -
Kedaulatan negara tidak hanya bebas merdeka dari penjajahan. Tidak pula karena dapat menjalankan pemerintahannya sendiri setelah mendapat pengakuan dunia, memiliki wilayah kedaulatan dan rakyat yang berdaulat. Tetapi, tak kalah pentingnya adalah berdaulat secara politik, ekonomi dan kebudayaan.
Ini sejalan dengan konsep “Trisakti”, tiga kekuatan yang harus diwujudkan agar Indonesia menjadi negara dan bangsa yang besar seperti digagas Bung Karno, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Makna yang dapat kita tangkap bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) meletakkan “kedaulatan” sebagai bagian dari cita- cita kemerdekaan dan berdirinya Republik Indonesia, negeri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana tujuan negeri ini didirikan.
Lantas apa yang dimaksud dengan kedaulatan politik? Berbicara kedaulatan politik tak bisa dipisahkan dengan kedaulatan rakyat. Mengingat kedaulatan politik menyangkut kekuasaan rakyat untuk terlibat dalam penentuan kebijakan politik dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini diwujudkan melalui pemilihan umum, baik itu pilpres, pileg maupun pilkada, di mana suara rakyat akan menentukan pejabat publik, postur penguasa dan kekuasaan baik di bidang eksekutif maupun legislatif.
Tak berlebihan sekiranya dikatakan “suara rakyat” adalah “suara Tuhan” yang akan memberi mandat kepada para pemimpin untuk memajukan bangsa dan negara, setidaknya lima tahun ke depan.
Karena itu, siapapun yang terpilih menerima mandat rakyat pada pemilu serentak tahun 2024, jangan mengingkari amanat rakyatnya mewujudkan cita – cita negeri, yakni masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Mewujudkan negeri kita yang “Gemah ripah loh jinawi”- suatu kondisi yang sangat subur serta sangat makmur daerahnya menjadi “Tata tentrem kerta raharja” – tertib, aman, damai serta sejahtera dan berkecukupan segala sesuatunya.
Saya tidak berpretensi terhadap sosok yang layak menjadi pemimpin bangsa, mengingat kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Siapapun yang terpilih, itulah pilihan rakyat, sepanjang mekanisme proses politik berjalan transparan, bersih, jujur dan adil serta tidak pula memihak.