Kisah 'Gemetar' Harmoko Minta Soeharto Mundur dan Warisan Mengejutkan di Ruang Kerja Bung Akung

Sabtu 04 Mar 2023, 15:06 WIB
Harmoko. (ist)

Harmoko. (ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sama seperti hari-hari sebelumnya, Senin, 18 Mei 1998, suasana di halaman Gedung DPR tak berubah. Masyarakat dan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta dan kampus-kampus lain di Jawa serta luar Jawa, tak pernah surut semangat.

Mereka bertahan di Gedung DPR, terus gelorakan tuntutan, mendesak Presiden Soeharto mundur.

Pemandangan itu tak pernah ada dalam sejarah Orde Baru. Siang-malam, mahasiswa tak lelah menduduki halaman gedung wakil rakyat.

Ketika itu, sebagai pimpinan DPR/MPR, Harmoko sudah berbulat hati ambil sikap: Harus mengeluarkan pernyataan meminta Soeharto mundur.

"Jika masyarakat sudah demikian kuat aspirasinya, pantaskah Dewan bersikap lain? Apa artinya Dewan jika mengingkari hati nurani rakyat, pemilihnya sendiri? Masih pantaskah mereka disebut Dewan Perwakilan Rakyat," kata Harmoko seperti ditulis dalam bukunya Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi yang baru saja diluncurkan  di Djakarta Theathre, Sabtu, 25 Februari 2023 lalu.

Pada pukul 16.00 --ketika itu-- Harmoko bersama sejumlah pimpinan lain, Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid, kemudian mengumumkan agar Soeharto mundur dari jabatan Presiden RI.

"Dalam menanggapi situasi, pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko ketika itu.

Seketika, ruangan konferensi pers seakan mau pecah dengan gemuruh tepuk tangan para wartawan dari dalam dan luar negeri.

Bimbang Harmoko Minta Soeharto Mundur

Keteguhan sikap Harmoko meminta Soeharto mundur rupanya tak sekuat ucapan lantangnya. Keberanian itu muncul setelah 'buah' pergolakan batin mendalam, antara idolanya sejak lama itu dan keberpihakan rakyat.

Siapa sangka, sebelum hari pamungkas tiba, hari-hari sebelumnya Harmoko selalu dihantui pikiran berkecamuk, kusut dan bimbang.

Seperti yang disampaikan Putra Harmoko, Azisoko dalam peluncuran buku tersebut. Dia yang ketika peristiwa terjadi berusia 20 tahun dan tengah kuliah di luar negeri, mengakui bimbangnya hati ayahanda.

Berita Terkait
News Update