Mereka seakan sudah menyatu sebagaimana filosofi orang Minang “Dima Bumi Dipijak Di Sinan Langik Dijunjuang”.
Seni budaya tradisional Tionghoa menjadi sebuah simbol keberhasilan akulturasi antara kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan Indonesia yang sudah terjalin sejak ratusan tahun silam.
Namun belakangan, terjadi fenomena yang menarik, dimana keturunan warga Tionghoa kurang berminat melakoni tari tradisional tersebut.
Hampir di semua daerah, seni tradisional itu telah dimainkan oleh pemuda atau remaja daerah setempat sebagai peran pengganti.
Di Bukittinggi Sumatera Barat, sudah puluhan tahun seni budaya Tionghoa itu tidak pernah muncul di depan publik. Bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Begitulah nasib “Sipasan”,
Tarian Naga atau Liang Liong dan Tarian Barongsai. Padahal, gelaran pertunjukkan ini bisa menjadi hiburan bagi wisatawan domestik yang berkunjung ke kota wisata ini.
Yossie, seorang pelancong dari Jakarta membayangkan dan berharap, ada “sipasan” mengelilingi Jam Gadang, atau Liang Liong masuk ke Lubang Japang dan Barongsai menelusuri Ngarai Sianok.
Ketua Himpunan Tjinta Teman (HTT) Bukittinggi Ajie Sutiono mengakui, sudah puluhan tahun tari tradisional tersebut tidak diselenggarakan di Kota Bung Hatta ini.
Hal itu disebabkan remaja dan pemuda keturunan Tionghoa sebagian besar berada di Padang, Pekanbaru, Medan, Jakarta, dan bahkan di luar negeri.
Mereka sebagian besar melanjutkan pendidikan dan mencari penghidupan yang lebih baik.
Tak dapat dipungkiri, anak-anak keturunan Tionghoa yang berasal dari Bukittinggi banyak yang berhasil menempuh pendidikan dan bekerja di perusahaan ternama atau memiliki perusahaan di kota-kota besar.
Mereka banyak yang berprofesi sebagai dokter, apoteker, ahli teknologi informatika, dan lain sebagainya.