Bobot adalah kualitas diri, termasuk keimanan, pendidikan, pekerjaan, kecakapan, kemampuan, harkat, derajat dan martabat seseorang.
Bebet berasal dari kata bebedan, pakaian atau cara berpakaian. Dapat diartikan penampilan luar yang dipertontonkan kepada publik. Cara bersikap, merespons situasi dalam berucap dan bertindak kepada masyarakat.
Penampilan inilah yang kemudian dilihat masyarakat dengan memberikan penilaian tersendiri. Semakin tinggi sikap dan perilaku, semakin membuat orang lain senang dan memberi penilaian positif.
Dalam konteks bursa capres, bisa dikaitkan dengan tingkat popularitas dan elektabilitas.
Hanya saja dalam standar ideal mencari calon pasangan, syarat bebet ditempatkan di peringkat ketiga (terakhir), setelah bibit dan bobot. Maknanya penampilan luar yang membuatnya menjadi kian populer dan membuat keterkaitan, orang terpesona (elektabilitas), bukan menjadi yang utama. Termasuk dalam memilih calon pejabat publik, capres – cawapres, calon kepala daerah dan lainnya.
Filosofi bibit, bobot dan bebet ini, sejatinya bertujuan agar dalam mencari pasangan jangan tergoda karena cinta semata sehingga melupakan kriteria lainnya, padahal berharga untuk masa depannya.
Itulah perlunya menyeimbangkan cinta dan logika. Dalam konteks mencari paslon capres – cawapres, tidak mengutamakan popularitas dan elektabilitas yang terbangun, lebih – lebih jika hasil dari pencitraan penampilan luar (bebet).
Bibit dan bobot yang dikarakterkan lewat cerdas berkualitas, memiliki kapabilitas dan akseptabilitas, tidak kalah pentingnya dari popularitas dan elektabilitas.
Yang tahu persis soal bibit dan bobot adalah rakyat, bukan parpol atau elite parpol, yang boleh jadi hanya melihat dari tampilan luar.
Saatnya produksi politik , ketika menggodok paslon capres – cawapres, lebih mengedepankan transparansi, keterbukaan dan kejujuran.Lebih terpuji, jika setiap parpol melibatkan partisipasi rakyat berupa usulan, masukan dan harapan.
Bukankah melibatkan partisipasi rakyat merupakan perwujudan kedaulatan rakyat seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Jangan maunya parpol sendiri, demi keuntungan parpol dan kedernya serta relasi bisnisnya. Sementara rakyat hanya dijadikan pijakan.