Oleh : Wartawan Poskota, Ilham Tanjung
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terus menggodok regulasi jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) bersama DPRD DKI. Proyek jalan tersebut hadir untuk mengurangi masalah kemacetan serta menekan produksi emisi CO2 di Jakarta.
Namun, sejumlah pengamat ekonom menilai kebijakan itu akan bisa mempengaruhi roda perekonomian di kawasan tersebut hingga berisiko memperlebar kesenjangan sosial.
Pasalnya, besaran tarif yang diusulkan Rp 5 ribu hingga Rp 19 ribu menyesuaikan kategori dan jenis kendaraan dinilai sangat berat. Dengan tarif baru tersebut berarti akan menambah beban biaya yang ditanggung masyarakat.
Tambahan beban tersebut jelas akan memperburuk kesenjangan sosial karena masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan menjangkau jalan yang diberlakukan ERP.
Selain itu, penerapan ERP berpotensi menimbulkan masalah baru, yakni perpindahan kemacetan ke jalan tak berbayar. Penerapan ERP pada dasarnya agar pengguna kendaraan pribadi berpikir dua kali untuk memakai mobil atau motor karena mesti mengeluarkan biaya lebih.
Jika ERP diterapkan tetapi tidak disertai perubahan perilaku masyarakat tentang mobilitas, maka hasilnya akan memindahkan titik kemacetan. Artinya, masyarakat tetap bawa kendaraan pribadi, namun titik macet beralih ke jalan yang tidak berbayar.
Bahkan diperkirakan dampak kemacetan di sekitar ERP bisa semakin menggurita hingga masuk ke area pemukiman warga karena dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) tertulis ERP akan diterapkan di 25 jalan di Jakarta.
Bukan persoalan yang mudah untuk mengatasi kemacetan karena sejak lama permasalahan ini tak kunjung terpecahkan. Selagi volume kendaraan lebih banyak dari jumlah jalan, maka kemacetan akan terus menghantui jakarta.
Karena itu perlu kebijakan yang ekstra berani dilakukan Pemprov DKI dalam membuat aturan. Usulan, menaikan biaya parkir mobil lebih tinggi sehingga masyarakat menjadi berpikir ulang untuk membawa kendaraan pribadi dan lebih memilih angkutan umum.
Atau membuat aturan memperketat dan pembatasan jumlah kepemilikan kendaraan pada satu keluarga dan bukan hanya sekedar gengsi atau ingin dianggap wah.